Sabtu, 16 April 2011

Program perdana FKR "Karena aku bukan perempuan pelukis perasaan" Episode Dua: Sebuah Tahi lalat di atas ubun-ubun kepala

Seharusnya kau berada di sisiku
Mengusir sepi yang menyelimutiku
Di sabtu malam janjimu
Tak sabar kumenunggu
Walau kesal hatiku
But it's ok!

Kucoba memberikan toleransiku
Bikin resah, buyarkan konsentrasiku
Apakah engkau merasa
Aku bukan manusia
Yang tak luput dari rasa amarah

Reff:
Kuakui, kau memang manis
Tapi kau iblis
Kau pikir kaulah segalanya
Tuk dimaklumi
Ga juga
Tuk ditakuti
Walau mempesona
Membutakan mata
Tapi bisa kubalas kau lebih gila

Waktu menunjukkan jam sepuluh malam
Suasana kurasakan begitu kelam
Firasatku mengatakan
Tak mungkin engkau datang
Tak seperti yang telah kau janjikan
Seperti biasa, setiap pukul 06.00 pagi paman menghidupi alunan musik ini dengan sangat kencang. Tak ada lagu lain yang lebih indah daripada lirik lagu tersebut. Maklum saja, lirik lagu ini menggambarkan kisah cinta pertama paman terhadap seorang gadis yang hanya berlangsung satu malam saja. Kata paman, gadis itu mengkhianatinya setelah mereka bercinta satu malam di sebuah motel. Sebenarnya paman ingin sekali bertanggung jawab karena ia sangat mencintainya, namun gadis itu akhirnya menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
            “Yiyin, Kau sudah berangkat? Jangan lupa kopi untukku taruh di atas meja!”
            Paman berteriak diantara alunan musik yang juga terdengar keras dari kamarnya.
            “Iya paman, sudah aku taruh.”
            “Kalau begitu hati-hati di jalan.”
            Paman sama sekali tidak keluar kamar dan melihatku pergi. Sepertinya paman benar-benar lupa har ini sangat spesial bagiku.
            “Paman…kau tak mau melihatku pagi ini? Apa kau benar-benar lupa sesuatu?”
            Aku masuk saja ke kamar paman yang sangat berantakan dan menyalaminya.
            “Ya Tuhan Yin, kau sudah berseragam? Jadi mulai hari ini kau sudah jadi dokter? Yin, aku benar-benar bangga padamu nak.”
            Paman mengguncang-guncang pundakku dengan sangat kuat hingga rasanya sedikit sakit.
            “Paman….”
            Aku menghela nafas pelan. Aku putus asa dengan keadaan paman yang seperti ini. Dipkirannya hanya ada dia dan dunianya.
            “Yin, kau kenapa? Hari ini aku yakin kau akan sukses sayang!! Yuhu!! Kuakuiii kau memang manisss…tapi kau iblis….kau pikir kaulah segalanya!!!!!”
            Paman kembali tenggelam dalam kegilaan dunia mayanya.
            Namaku Arina Putri, berusia 22 tahun, biasa dipanggil Arin oleh teman-temanku. Namun paman biasa memanggilku Yiyin. Aku dibesarkan oleh paman tanpa sosok seorang ayah dan ibu sejak awal masa sekolahku. Aku anak dari seorang mantan PSK yang sering tidur dengan banyak lelaki. Ibu insaf dan berhenti dari pekerjaannya sejak ia mengandungku. Ibu menjaga dan mendidikku dengan penuh kasih sayang. Ibu memberikanku ASI dan sempat mengajariku membaca. Ibu mulai meniti pekerjaan baru dari bawah sebagai seorang tukang masak sebuah restoran yang kemudian berujung sukses membuka usaha catering. Ibu tak pernah memberikanku makan dengan menggunakan uang haram. Sayangnya, ibu hanya bersamaku hingga aku berusia 5 tahun karena ibu meninggal dengan alasan yang tak pernah diketahui hingga sekarang. Meskipun ibu meninggal saat aku masih kecil, aku masih bisa mengingat saat-saat ibu bersamaku dan aku tahu betapa ia menyayangiku. Setelah ibu meninggal, aku hidup bersama paman, satu-satunya keluarga ibu. Paman merupakan seorang sarjana teknik. Ia merupakan mahasiswa berprestasi. Aku ingat saat menghadiri wisuda paman, saat itu aku kelas dua SMP, paman yang mengenakan pakaian toga maju ke atas panggung menerima ijazah cum laude dari pak rektor. Paman terlihat gagah sekali saat itu. Stelah tamat kuliah, paman sempat bekerja di sebuah perusahaan dengan posisi baik. Kehidupan paman berubah setelah ia bertemu dengan cinta pertamanya yang akhirnya menjadi racun baginya. Perempuan itu bagaikan mawar berduri bagi paman. Lalu dimana ayahku? Hingga sekarang tak ada yang mengetahui sosok ayah seperti apa, bahkan termasuk ibu.
            Tumbuh dalam kondisi keluarga yang sedikit berbelok tak membuatku menjadi anak yang salah arah. Aku ikhlas menerima semua takdir tuhan, justru aku bertekad untuk mengubah kelas harkat dan martabatku menjadi yang terbaik. Semua tekadku mulai terlihat nyata sejak aku terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran. Sudah empat tahun aku belajar banyak ilmu yang semakin membuatku takjub akan kehidupan dan kekuasaan tuhan. Melalui ilmu yang telah aku punya, aku yakin suatu saat nanti akan dihargai masyarakat walaupun aku dilahirkan tanpa ayah. Hari ini adalah hari pertama aku mengaplikasikan ilmuku, yaitu sebagai seorang CoAs*. Stase awal yang akan aku tempuh adalah stase jiwa. Dengan seragam putih baru yang kupakai, aku mulai kehidupan di pagi ini dengan langkah kaki mengiringi awan yang berjalan. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 06.30. Jika 15 menit aku naik angkot, maka aku akan hadir 15 menit sebelum kelas dimulai dan itu berarti aku tidak akan terlambat. Pagi ini, kendaraan sudah banyak yang berlalu-lalang. Aku menunggu angkot di sebuah halte. Ada dua orang lainnya di halte tersebut, seorang pegawai bank dan seorang lagi laki-laki berjaket hitam dengan banyak anting-anting di telinganya. Tiba-tiba sebuah kegaduhan pun terjadi.
            “Kurang ajar kamu! ini pelecehan seksual namanya!”
            Plok!!! Pegawai bank itu menampar laki-laki yang sedari tadi berdiri disampingnya setelah laki-laki itu meremas pantatnya tepat di daerah gluteus maksimus**. Aku juga menyaksikan adegan senonoh tersebut. Pegawai bank itu lalu merasa tak puas dan membekuknya hingga laki-laki itu terjatuh. Perempuan zaman sekarang memang memiliki banyak kemajuan. Ini baru namanya emansipasi wanita.
            “Suster, kamu lihat kan tindakan laki-laki ini? Ayo kita ke kantor polisi sekarang!”
            “Apa mbak? Ke kantor polisi?”
            “Iya, sekarang juga ke kantor polisi!!”
 **********************************************************************************************
            Pegawai bank itu berteriak ke arahku.
            Saat ini tepat pukul 07.58 WIB, aku berlari menyusuri lorong-lorong jalan rumah sakit. Keingat mengucur dengan derasnya sedari tadi. Ku hitung denyut nadiku 120x/menit***. Naluriku sudah terbiasa untuk menghitung denyut nadi setiap perubahan kondisi tubuh. Tepat di tengah-tengah rumah sakit ada gedung berwarna hijau, aku berbelok ke arah gedung itu dan berhenti di depan sebuah kelas yang pintunya tertutup rapat. Sepertinya kelas sudah dimulai, kutenangkan diri sejenak lalu kubuka pintu itu.
            “Saya Arina Putri, CoAs angkatan 2004. Maaf dok saya terlambat 1 jam 3 menit.”
            Saat itu kulihat jam menunjukkan pukul 08.03 WIB. Keringat masih saja mengucur membuatku sangat gerah. Kelas menjadi sangat hening setelah kedatanganku. Lima orang teman sekelompokku, seorang dokter muda, dan dua orang perawat menatapku penuh kengerian, Dalam hati mereka mungkin berkata Gila!!!!! Kamu gak tahu dokter ini macan!!!
            “Oke, kamu tidak salah kepada saya. Sekarang kamu bisa keluar!”
            “Tapi dok….”
            “Suster Dina, Ini kertas CoAs yang sudah terdaftar disimpan. Ajak mereka berkeliling rumah sakit. Jika ada mahasiswa baru mau menulis namanya di sini, bilang tahun depan saja datang lagi.”
            Denyut nadiku bertambah cepat setelah mendengar kata-kata itu. Aku lalu mengikuti langkah dokter Maya, dokter kepala rumah sakit dan merupakan kepala di stase jiwa ini.
            “Dok, sesungguhnya saya sudah berangkat dari rumah pukul 06.30, hanya saja saya mengalami suatu musibah. Ada sebuah kasus pelecehan seksual yang menyebabkan saya harus menjadi saksinya.”
            Aku memberikan penjelasan dengan suara yang sedikit terbata-bata.
            “Oke, kalau kamu memang seorang pemberani yang pernah menjadi saksi kasus pelecehan seksual, kamu bisa menghadap dekanat dan minta merubah stase ke bagian lain. Saya banyak pekerjaan.”
            Langkahku mulai goyah. Tak pernah muncul di benak pikiran bahwa hari pertama akan gagal seperti ini. Kulihat teman-temanku senang sekali mengawali langkah pertama mereka. Tak ada satupun diantara mereka yang menghampiriku. Aku pun duduk di kursi taman yang terletak di salah satu pojok halaman rumah sakit. Kata orang, kursi ini merupakan kursi keajaiban. Setiap pasien yang pernah duduk di kursi ini dengan keinginannya sendiri merupakan sebuah pertanda kesembuhan mereka. Aku tak mengetahui mitos itu berasal darimana. Aku hanya duduk saja menunggu waktu berjalan agar aku tak merasa bersalah jika harus pulang terlalu pagi. Di antara waktu yang kosong ini, kulihat dua orang polisi membawa seorang wanita yang berjalan dengan menundukkan kepala. Wanita itu menggunakan seragam narapidana. Mereka memasuk gedung hijau dan tepatnya memasuki ruang interview. Kemudian kulihat dokter Maya dan teman-temanku memasuki ruangan yang sama.
            “Dokter, kami minta pasien ini untuk diselidiki apakah benar memiliki gangguan jiwa. Dia bernama Asmara Indriyani, 23 tahun, seorang penulis terkenal. Kami butuh kesaksian kasus percobaan pembunuhan terhadap seorang laki-laki di sebuah hotel. Ditemukan sidik jari pasien di pistol yang diduga digunakan untuk membunuh korban, tetapi korban juga memiliki pistol saat ditemukan. Dan berdasarkan data dari pihak hotel bahwa pasien tidak bersama korban saat melakukan check in. Pasien tidak berbicara sepatah katapun sejak penangkapannya. Tak ada keluarga Kami menginginkan kasus ini cepat selesai karena pasien merupakan seorang publik figur terkenal. ”
            Seorang polisi memberikan penjelasan mengenai pasien.
            “Baiklah, kami akan membantu dan memberikan terapi hingga pasien mau berbicara memberikan kesaksian. Namun, untuk menyelidiki kasus ini bukanlah kewajiban kami. Setelah nanti kami merasa pasien sudah mampu memberikan kesaksian maka kami tidak bertanggung jawab lagi kecuali jika didapatkan pasien menderita gangguan jiwa berat maka pihak rumah sakit mengambil alih tanggung jawab sepernuhnya terhadap pasien hingga ia sembuh”
            “Baiklah dokter Maya, anda sudah mulai bisa bekerja. Kalau bagitu kami pamit sekarang.”
            Kedua polisi itupun meninggalkan ruangan dengan ditemani dokter Maya.
            “Bagaimana keadaan anda sekarang Nona Asmara?”
            dr.Deni langsung memulai petanyaan, tetapi tak ada respons dari pasien.
            “Apakah anda pernah mendengar suatu suara atau sebuah perintah sebelum anda melakukan penembakan tersebut?”
            Tari menambahkan pertanyaan dan tetap tak ada respons. Pasien terus menundukkan kepala dan diam.
            “As..ma..ra.. Aku Riki, seorang penggemarmu sejak kamu menulis cerpen di majalah Bobo, aku benar-benar terpukul melihat kamu seperti ini”
            Riki menjatuhkan tubuhnya dan menunduk menangis meraung-raung. Sikap Riki sontak mengagetkan semua orang, termasuk asmara, ada sedikit respons dimana asmara melihat ke arah Riki.
            “Hei Riki, kita ini sedang berpraktek, kamu tidak boleh cemen seperti itu!”
            Dr.Deni memarahi Riki sementara Gigi, Vivi, dan Toni ikut menagis menenangkannya. Sesaat setelah kejadian norak mengharukan itu, dokter Maya kembali masuk ruangan.
            “Bagaimana status pasien?”
            “Keadaan kompos mentis terganggu****, dari tadi hanya diam menundukkan kepala jadi belum bisa ditemukan gejala gangguan jiwa. Sepertinya pasien mengalami depresi berat.”
            Dokter Deni memberikan penjelasan kondisi pasien.
            “Apa tindakan yang bisa diberikan?”
            Dokter Maya kembali bertanya.
            “untuk mengetahui apakah pasien mempunyai indikasi malingering*****, kita bisa menggunakan tes MMPI-2******.”
            Riki memberikan penjelasan. Sepertinya dia mulai sadar dengan posisi dirinya saat ini.
            “Tapi, apakah dalam kondisi dia seperti bisa langsung dilakukan MMPI?” Tanya Vivi.
            “Apa maksud pertanyaanmu Vi?”
            “Bukankah MMPI akan sia-sia jika pasien belum bisa kooperatif”, Vivi menjelaskan maksudnya.
            “Iya itu benar, sebaiknya kita berikan amitriptyline******* terlebih dahulu setelah itu baru kita berikan tes.”
            Dokter Deni memberikan pendapat.
            “Oke, sekarang kalian perhatikan. Seandainya satu hari saja matahari tak bersinar, apakah manusia akan seluruhnya bersyukur terhadap karuniaNya? Ha…Mungkin saja itu tidak akan terjadi karena kemoralan itu sudah tidak pernah lagi aku temukan di kehidupan ini.”
            Setelah mendengar kata-kata dokter Maya semua orang tertegun heran dan pasien Asmara mulai mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah dokter Maya.
            “Itu kutipan kalimat dalam artikel “Keterpurukan abad 21” karya Asmara. Benar kan dokter?”
            Riki bertanya semangat sekali.
            “Benar, apaka kalian punya pendapat sekarang?”
            Tak ada satupun yang menjawab, lalu entah kekuatan darimana akhirnya aku memberanikan diri masuk dari persembunyian.
            “Pasien Asmara Indriyani tidak mengalami gangguan jiwa. Orang yang mengalami gangguan jiwa akan sibuk dengan dunianya. Pasien terus diam namun selalu memberikan respons positif setiap hal-hal mengagetkan yang menyangkut dirinya. Setiap hal-hal yang tidak menyangkut dirinya ataupun hal biasa, dia hanya diam dan hanya mendengarkan. Saya sangat yakin dia mengerti apa yang dibicarakan sejak tadi masih ada  kehadiran polisi. Jadi hanya tersisa satu alasan dia diam karena sengaja ingin menutupi suatu hal dari hukum. Berarti benar dia masuk ke dalam indikasi malingering.
            “Sejak kapan kamu berada di luar? Bukankah tadi saya menyuruh kamu keluar.”
            Dokter Maya menatap kemarahan ke arahku.
            “Kalau begitu, langkah yang harus kita lakukan terapi bagaimana membuat pasien mau dan mampu berbicara memberikan kesaksian. Dari awal intuisiku sebagai calon dokter memang telah berpendapat Pasien Asmara tidak mungkin mengalami gangguan jiwa. Sepertinya kasus ini menarik.”
            Gigi menyetujui pendapatku.
            “Kenapa kita tidak langsung langsung menyerahkan kembali kepada kepolisian?” Tanya Nia.
            “Lebih baik kita saja yang melakukannya. Menurut pengalaman, pasien tidak akan pernah bicara. Polisi biasanya terlalu menekan dan takutnya kondisi pasien justru memburuk. Apalagi Asmara merupakan seorang penulis yang pasti selalu dinantikan masyarakat. Jangan sampai kasus ini berlarut-larut dan membuat masyarakat kecewa dan memberikan trauma bagi Asmara. Lagipula saya sangat yakin Asmara bukan seorang yang berniat untuk membunuh apalagi menjadi seorang pembunuh.”
            Dokter Deni memberikan pendapat yang mementingkan banyak aspek.
            “Iya, saya setuju. Saya tidak ingin idola saya terpuruk di tangan polisi.”
            Riki menambahkan pernyataan dokter Deni.
            “Baiklah, pendapat kalian semua benar. Namun, saya menganggap kalian hari ini menentang saya karena membiarkan orang yang berani melawan aturan di hadapan saya sendiri.”
            Dokter Maya memberikan penekanan terhadap semua orang yang berada di ruangan. Dokter Deni dan teman-temanku pun menjadi terlihat tegang sekali.
            “Dokter, saya tidak melanggar peraturan. Bukankah peraturan terakhir di rumah sakit ini bahwa semua peraturan tidak diberlakukan jika ada peraturan lain yang membenarkannya disertai bukti yang kuat dan nyata. Peraturan itu ditandatangani oleh pendiri rumah sakit dan bisa dibaca di area depan rumah sakit. Satu lagi sebenarnya pagi ini telah ada pelanggaran peraturan lain, tetapi anda tidak melihatnya malah justru semakin memojokkan saya.”
            Aku bagaikan anak yang menerjang macan saat ini. Semua orang yang ada di ruangan itu bertambah tegang, termasuk Asmara pun sepertinya mengikuti pembicaraan kami.
            “Apa maksud kamu pelanggaran lainnya?”
            Dokter Maya balik bertanya kepadaku.
            “Dokter telah melanggar peraturan bahwa seorang mahasiswa berhak menyatakan pendapat dan pernyataann pendapatya tersebut wajib didengarkan. Setidaksuka apapun dokter kepada saya pagi ini, saya masih menjadi mahasiswa Kedokteran di kampus ini secara resmi. Jadi saya mohon kali ini dokter mau mendengar saya kali ini. Empat tahun saya mempersiapkan hari ini. Hanya karena suatu musibah yang menyebabkan saya terlambat dokter langsung menyuruh saya keluar dan kembali lagi tahun depan. Dokter sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasan alasan saya terlambat. Saya sangat sungguh-sungguh untuk hari ini bahkan saya tahu rumah sakit ini seluas 4 hektar yang terdiri dari 123 ruangan, dengan saat ini jumlah pasien yang menginap 89, ditambah Asmara menjadi 90 pasien….”
            “Oke, apa peraturan lain yang membenarkan kamu beserta buktinya.”
            Dokter Maya memberhentikan pembicaraan yang memojokkan dirinya dan bagiku itu sungguh mendalam.
            “Peraturan Negara bahwa seorang warga Negara yang baik wajib memberikan kesaksian atas suatu tindakan kejahatan dengan sebenar-benarnya.”
            “Oke, sekarang mana bukti yang bisa kamu ajukan?”
            Aku terdiam sejenak dan berusaha memikirkan bukti yang bisa kuberikan. Ya Tuhan permudahkanlah urusanku.
            “Dokter, selama empat tahun kami kuliah, Arina Putri tidak pernah terlambat mengikuti perkuliahan kecuali hari ini. Apakah saya bisa menjadi buktinya.”
            Tari memberanikan diri membelaku.
            “Saya juga mau menjadikan diri sebagai buktinya”, ujar Riki, Toni, Gigi, dan Vivi
            “Saya membutuhkankan bukti yang nyata.”
            Tegas dokter Maya.
            Semua diam hingga pintu ruangan kembali terbuka dan kini seorang satpam masuk. Kedatangan satpam ini membuat teman-temanku dan dokter Deni tersenyum.
            “Dokter Maya, maaf kalau kedatangan saya menganggu. Saya hanya ingin menyerahkan surat keterangan menjadi saksi Nona Arina Putri dalam kasus pelecehan seksual terhadap pegawai bank pagi ini. Surat ini ditandatangani polisi yang mengangani kasus dan pegawai bank tersebut.”
            Pak Satpam benar-benar menjadi pahlawanku hari ini.
            “Kamu melakukan hal ini atas perintah siapa?”
            Dokter Maya bertanya curiga.
            “Saya yang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan Pak Turimin dokter.”
            Dokter Deni akhirnya berbicara.
            “Saya tidak bermaksud menentang dokter. Sampai saat ini saya masih menganggap dokter guru yang terbaik yang mengajarkan saya patu kepada peraturan. Oleh karena itu saya berbuat seperti ini. Memang pada awalnya mereka berlima yang mengingatkan saya tentang peraturan terakhir tersebut dan kemudian saya berinisiatif untuk mencari bukti yang kuat. Saya hanya akan bertindak sesuai peraturan dokter. Jika menurut dokter saya berbuat salah saya bersedia jika dokter melaporkan saya kepada pihak dekanat”, ujar dokter deni melanjutkan pernyataannya yang sangat berani.
            Kedaan benar-benar hening dan dokter Maya memperhatikan kami satu-persatu lalu berbicara keras “Kalian Hebat!!” sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Karena keberanian kalian menyatakan pendapat yang sesuai dengan peraturan, rasa persahabatan kalian yang selalu dijunjung tinggi, dan rasa kemanusiaan yang selalu berkorbar, saya bangga kepada kalian. Saya yakin kelak kalian menjadi dokter-dokter pilihan. Baiklah Nama Arina Putri akan tertulis dalam daftar Mahasiswa CoAs. Sekarang kalian antarkan pasien Asmara menuju ruangannya.” Dokter Maya kembali bertepuk tangan dan meninggalkan ruangan.
            Aku kemudian langsung memeluk teman-temanku dengan erat sekali.
            “Terima kasih teman. Terima kasih Dokter Deni dan terima kasih pak Turimin.”
            “Rin, inilah yang namanya persahabatan. Kamu tidak berterima kasih kepada dokter Maya yang akan menuliskan nama kamu?”
            Dokter Deni mengerlingkan matanya ke arahku. Lalu tanpa berpikir panjang aku keluar ruangan dan mengejar dokter Maya sementara temanku yang lain membawa Asmara ke ruangannya. Lalu aku spontan memeluk dokter maya dari belakang saat memasuki ruangannya.
            “Terima kasih dokter. Saya tidak akan membuat dokter kecewa.”
            “Kalau begitu silakan kamu buktikan dengan kasus pertama ini.”
           “Baiklah dokter, saya pasti akan melakukan yang terbaik.”
   ***************************************************************************************             
      Saat ini waktunya beristirahat setelah mengalami berbagai macam ketegangan. Aku berjalan mengelilingi rumah sakit. Rasanya lega sekali akhirnya bisa diterima di rumah sakit ini oleh dokter Maya. Tak ada pasien yang berada di taman, seperti yang sering aku lihat di TV. Namun, ada seorang pasien yang duduk di kursi keajaiban dan ternyata dia adalah asmara. Aku berjalan ke arahnya dan berdiri di sampignya.
            “Apakah saya boleh duduk di sebelah anda asmara?”
            Seperti biasa tak ada respons darinya.
            “Baiklah, kalau begitu saya akan duduk di atas rumput saja dalam jarak yang jauh.”
            Masih tak ada respons darinya. Lalu aku duduk saja dalam jarak satu meter darinya. Aku mulai berpikir cara agar dia mau berbicara. Lalu aku mendapatkan sebuah ide.
            “Asmara, aku lebih muda satu tahun darimu. Kalau begitu aku akan memanggilmu kakak. Aku tidak mempunyai seorang kakak dan aku dengar kamu juga tidak mempunyai keluarga berarti kamu tidak memiliki seorang adik. Apakah aku boleh memanggilmu kakak?”
            Lagi-lagi tak ada respons dari asmara. Lalu aku melanjutkan kalimat demi kalimat lainnya.
            “Aku hidup tanpa kasih sayang, Ibu meninggal saat aku berusia 5 tahun. dan Aku tidak memiliki ayah. Aku hidup bersama paman yang tak pernah memperhatikanku. Tetapi, hal itu tidak membuatku buta artinya cinta karena aku selalu membaca tulisanmu sejak kau sering menulis cerpen di majalah Bobo. Cerpen-cerpenmu membuatku bisa merasakan cinta dan kasih sayang orang tua. Setelah besar aku tak sendiri lagi karena aku memiliki teman-teman. Setiap mempunyai masalah aku berbagi dengan teman-temanku dan setelah itu perasaanku kembali normal seperti biasa. Apa kau mempunyai teman Asmara? Kamu harus menceritakan semua masalahmu kepadanya karena kamu dinantikan banyak orang. Kamu harus segera keluar dari tempat ini dan terus menulis sambil mendidik masyarakat dengan caramu. Aku dan teman-teman yang lain pasti akan membuatmu kembali mau berbicara. Aku akan menemukan temanmu agar kamu mau bercerita. Aku yakin kamu pati memiliki seorang teman tempat dimana kamu pasti akan selalu bercerita. Aku akan menemukannya. Tunggu aku menemukannya sebentar lagi.”
            Aku berbicara berupaya memasuki dunia asmara. Kulihat asmara masih tidak memberikan respons. Namun aku tidak kecewa, aku yakin setelah ini akan terjadi suatu perubahan. Bukankah dia duduk di kursi keajaiban atas keinginannya sendiri. Lalu kutinggalkan asmara dan aku yakin saat ini dia sedang menangis.
            Selepas dari berbicara dengan asmara aku menuju ruangan dokter maya untuk mengajak berdiskusi mengenai hal yang baru terjadi. Namun, kulihat dokter maya sedang terburu-buru pergi keluar dari ruangannya.
            “Dokter, anda mau kemana? Saya ingin berdiskusi sebentar.”
            “Saya ingin ke rumah Asmara untuk menemukan sesuatu yang bisa membantu. Apa yang mau kamu diskusikan?”
            “Kebetulan dokter, saya ingin mendiskusikan masalah Asmara. Bolehkah saya ikut dokter ke rumahnya?”
            “Baiklah, kebetulan dokter Deni mempunyai pasien baru yang harus ditangani.”
            Akhirnya aku dan dokter Maya pun pergi ke rumah Asmara yang ternyata masih dikelilingi garis kuning polisi. Kebetulan saat itu juga ada polisi di rumah Asmara. Rumahnya kecil dan sangat asri. Ada banyak novel-novel di rumahnya. Yang menarik lainnya adalah sebuah foto Asmara yang sepertinya tak sengaja diambil karena terlihat natural sekali. Di balik bingkai foto itu ada sebuah tulisan. Aku ingin menemuimu cintaku.
            “Dokter, ini ada sebuah foto yang selalu berada di tangan Asmara sampai kami memaksa mengambilnya.”
            Polisi itu menyerahkan sebuah foto kepada dokter Maya. Aku lihat foto wanita itu sangat mirip sekali dengan asmara. Mungkin itu foto ibunya. Pada meja kerja asmara tepat di sebelah notebook nya ada sebuah surat kabar 22 tahun yang lalu mengenai kasus tabrak lari seorang anak pengusaha terkenal bersama seorang istri dan anaknya. Diketahui bahwa anak pengusaha dan wanita tersebut meninggal dunia sementara anaknya yang selamat ditemukan oleh seorang pegawai panti asuhan yang terletak dari lokasi kejadian kecelakaan yang kemudian akhirnya diasuh di panti asuhan tersebut. Kasus tabrak lari tersebut dinyatakan perbuatan sengaja karena terdapat sebuah surat peringatan berisi Anakmu mati dan setelah itu kamu Memang beberapa minggu setelah peristiwa tersebut, pengusaha terkenal menjadi korban kasus pembunuhan. Begitulah cerita polisi mengenai surat kabar tersebut. Hal lain yang ditemukan adalah sebuah catatan alamat panti asuhan yang berada di dekat lokasi kecelakaan tempat anak yang selamat itu dibesarkan. Ketika hal ini ditanyakan, Pihak panti asuhan memberikan kesaksian bahwa Asmara mengunjungi panti asuhan tersebut pada sore tanggal 22 Agustus 2007, tepatnya satu hari sebelum kejadian. Yang lebih mengagetkan ternyata korban mengunjungi tempat itu terlebih dahulu tiga hari sebelumnya. Berdasarkan data yang ada, polisi menduga anak kecil yang menghilang itu adalah asmara yang kemudian dibesarkan di panti asuhan tersebut.  Namun, ada satu pertanyaan mengapa korban mengunjungi panti asuhan tersebut setelah 22 tahun berlalu dan menanyakan apakah asmara memiliki tahi lalat besar di ubun-ubunnya. Polisi akhirnya juga menduga korban mempunyai hubungan cinta dengan asmara apalagi belakangan terakhir pernah muncul gosip hubungan percintaan asmara dengan korban yang merupakan seorang photographer. Dalam menjalani hubungan cinta mungkin saja mereka akhirnya mengetahui bahwa ternyata mereka saling berkaitan di masa lalu dalam kasus kecelakaan yang menyebabkan asmara tumbuh menjadi yatim piatu. Lalu kasus percobaan pembunuhan merupakan upaya balas dendam Asmara yang mungkin saja menduga bahwa korban merupakan sang penabrak dalam kasus kecelakaan 22 tahun yang lalu tersebut. Semua ini masih sebatas asumsi sementara. Polisi masih ragu apakah seorang photographer juga bisa berpfrofesi menjadi seorang pembunuh dan apakah seorang penulis terkenal yang selalu menggunakan kata-kata bijak, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan selalu membela kaum tertindas mampu menghilangkan nyawa seseorang. Oleh karena itu, polisi benar-benar membutuhkan kesaksian dari asmara karena sepertinya kasus ini hanya mereka berdua yang bisa menjawab sementara korban masih dalam perawatan dokter dan belum sadar hingga saat ini. Berarti Foto yang mempunyai tulisan itu mungkin saja pemberian dari korban untuk Asmara. Ya Tuhan, aku baru kali ini merasa dokter juga bisa menjadi seorang detektif. Kulihat dokter Maya juga takjub dengan kasusnya kali ini. Aku lalu berusaha mencari tahu seseorang yang mungkin teman terdekat mereka. Namun, aku tak menemukan jawaban.
            “Dokter, mungkinkah satu-satunya teman asmara hanya korban?”
            Aku mengajak dokter maya untuk mendiskusikan sosok seorang teman yang mungkin bisa memberi penjelasan atau bisa membuat asmara berbicara.
            “Mungkin saja. Bukankah seorang teman sejati itu adalah orang terdekat kita yang selalu ada dalam kondisi apapun dan merupakan tempat terpercaya untuk bercerita ketika mempunyai masalah. Dan ketika mengetahui bahwa teman melakukan sesuatu yang membuat kita kecewa maka saya rasa membunuhpun tak jadi masalah.”
            Seorang terdekat dan terpercaya untuk bercerita bagi seorang penulis seperti asmara mungkinkah sebuah notebook. Bukankah seorang penulis selalu menulis setiap yang dia rasakan lalu merangkai setiap hal itu menjadi suatu bait-bait yang indah. Aku pun langsung beralih menuju meja letak notebook milik asmara yang tadi aku lihat berada di samping surat kabar. Aku menyuruh polisi untuk membukanya mencari mungkin saja dia menyimpan sebuah tulisan mengenai kasus ini. Tepat sekali dugaanku. Sebuah folder berjudul Rahasia Terbesarku. Lalu polisi membuka folder tersebut dan ada sebuah karangan yang aku yakin berhubungan dengan kasus ini. Lalu aku mengajak dokter maya melihatnya dan menyuruh seorang polisi untuk membacakan tulisan itu dengan keras.

Kebahagiaan Bersamamu yang Akan Segera Berakhir
          Aku masih ingat saat pertama kali bertemu denganmu. Siang itu aku ingin sekali berjalan-jalan mencari inspirasi untuk menulis novel yang terbaru. Saat berjalan, aku memikirkan tentang kisah cinta sejati dua sejoli yang mungkin saja melebihi kisah Rome dan Juliet. Lalu saat berada dalam lamunanku aku tersentak menyadari wajahku ternyata tak sengaja terpotret dalam kameramu. Saat itu tak ada kata lain yang bisa aku ucapkan selain permintaan maaf karena telah menggangu pekerjaanmu. Ku lihat wajahmu saat itu yang sama sekali tak memarahiku dan aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda di dada. Kau hanya tersenyum dan mempersilakanku untuk berjalan kembali. Saat itu rasanya aku ingin mengenal dan berbicara denganmu lebih dekat.
          Beberapa hari setelah kejadian itu, tasku dijambret oleh para preman di sebuah tempat umum. Aku sangat sedih atas kehilangan tersebut karena tas itu berisi sebuah notebook yang merupakan sahabat sejatiku. Aku seperti kehilangan jati diri untuk pertama kalinya. Lalu tiba-tiba seseorang mennghubungiku bahwa tas dan notebookku telah diselamatkannya dan saat itu ada bersamanya. Aku pun mendatangi alamat kantor yang diberikan oleh si penelepon. Ternyata penelepon itu adalah kamu yang telah menjadi inspirasiku menulis kisah cinta sejati sejak pertemuan yang lalu. Aku sangat senang sekali terutama ketika melihat fotoku telah terbingkai dengan indah di atas meja kerjamu dan bertuliskan Aku akan menemuimu cintaku.  Kemudian kita menjadi teman yang saling mengisi. Aku pun mulai merasa seperti seorang Cinderella yang bertemu dengan pangerannya.
          Kebahagiaanku memuncak sebulan kemudian saat kamu melamarku dengan seratus bunga mawar yang kamu bawa. Tak ada alasanku untuk menolakmu. Aku menerimamu sepenuh jiwaku. Lalu keesokan harinya kita menikah untuk menghalalkan hubungan kita. Aku serahkan seluruh jiwa dan ragaku pada malam pertama kita yang tak mungkin bisa kulupakan hingga akhir masa. Kamu adalah laki-laki pertama bagiku. Aku sangat mencintaimu walaupun usia kita berjarak lima belas tahun. Namun, semua kebahagiaan itu berubah setelah kamu melakukan semuanya dan menyakan kepadaku mengenai tahi lalat yang telah ada di ubun-ubun kepala ini sejak lahir. Sejak saat itu kau terlihat menjauh dariku dan tak pernah lagi menatap wajahku apalagi menyentuhku. Bahkan kau tidak pernah lagi berada di rumah. Aku selalu bertanya pada diri sendiri apa salahku. Mungkinkah aku bukan seorang istri yang baik yang tak bisa memenuhi segala kewajibannya. Namun aku telah memberikan diriku seutuhnya kepadamu pada malam itu. Hingga penantianku pun berakhir bahagia saat pagi itu kau datang kembali kepadaku dan kali ini memberikan seratus boneka. Kau mencium dahiku dengan penuh kasih sayang. Kau belai setiap helaian rambutku dan menatapku begitu dalam. Kau menanyakan apakah masa laluku bahagia. Aku pun menjawab tiada masa yang lebih indah dibandingkan setelah aku bertemu denganmu. Lalu kau masakakkan aku makanan yang begitu lezat dan menyuapiku seperti biasanya. Hari itu aku berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengembalikanmu. Siang harinya, ketika kau tertidur dengan pulas, aku tak sengaja menemukan sebuah surat kabar 22 tahun yang lalu dan sebuah alamat panti asuhan tempat aku dibesarkan. Hatiku pun menjadi penuh curiga dan kemudian aku selidiki semua kemungkinan. Kecurigaanku semakin bertambah sejak aku berusaha bertanya tentang masa lalumu, kau selalu mengelak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lagi-lagi kau meninggalkanku entah kemana.
 Rasanya aku ingin berteriak saat mengetahui kebenaran mungkin kaulah pembunuh ayah dan ibuku, saat kau kirimkan aku sebuah surat yang berisi Maafkan aku, seandainya saja kecelakaan 22 tahun lalu itu tidak terjadi mungkin saja kita akan bahagia bersama hingga akhir masa. Aku ingin sekali menemuimu dan menanyakan semua kenyataan yang ada. Jika memang benar kau penyebab kebahagiaan masa kecilku hilang,  terpikirkan sekilas untuk membalas dendam kepadamu, tetapi aku rasa itu tidak mungkin karena aku terlalu mencintaimu. Kemana aku harus mencarimu. Mungkinkah Hari ini Aku harus meyakinkan diri bahwa Seratus mawar yang telah kau berikan kini telah menjadi duri dan kebahagiaanku bersamamu akan segera berakhir.

22 Agustus 2007

       “Sekian, tulisan ini tepat sehari sebelum kejadian dan setelah menulis kisah ini berarti Asmara mengunjungi panti asuhan tersebut dan menemukan fakta bahwa ternyata suaminya juga mengunjungi panti asuhan tersebut tiga hari yang lalu yang menanyakan mengenai tahi lalat yang berada di ubun-ubun kepalanya.”

            Polisi itu mengakhiri ceritanya. Aku bisa merasakan jatuhnya air mataku sejak awal polisi tersebut membacakan tulisan asmara. Mungkinkah asmara orang yang mengajarkanku arti cinta dan kasih sayang tega melakukan perbuatan serendah itu. Walaupun korban telah membunuh kedua orangtuanya, patutkah asmara melakukan hal serupa. Kalau begitu tidak ada bedanya antara Asmara dengan laki-laki itu. Semoga saja korban segera sadar dan mungkin saja akan membela asmara sehingga hukumannya tidak akan terlalu berat. Aku tak mau tulisan-tulisan asmara mati begitu saja.
 *******************************************************************************************
            Setelah mengetahui semua fakta yang ada kami pun menuju rumah sakit untuk meminta kesaksian dari asmara mengenai bukti yang didapat. Aku sangat yakin kali ini polisi akan memaksa keras jika asmara masih belum mau memberikan kesaksian. Sesampainya kami di rumah sakit, polisi mengungkapkan setiap fakta kepada Asmara yang membuat asmara begitu kaget. Tak hanya Asmara, dokter Deni dan kelima temankupun begitu kaget, terutama Riki yang sangat mengidolakannya.
            “Asmara, mengapa kau melakukan hal tersebut!!! Aku terlanjur mengidolakanmu dan stulus hati menyukaimu.”
            Raung Riki yang kembali menagis tersedu-sedu lalu dokter Deni menjelit ke arahnya. Sementara Gigi, Vivi, dan Toni seperti biasa menenangkannya.
            “Sama seperti Riki yang kecewa karena terlanjur megidolakanku, aku juga sangat menderita karena terlanjur mencintainya. Kalian belum mengetahui keseluruhan cerita yang sebenarnya malam itu. Aku tak pernah berniat sama sekali untuk membunuh orang yang paling aku cintai itu. Justru aku berniat untuk memaafkannya asalkan ia mau kembali kepadaku seperti dulu lagi yang selalu memanjakanku. Kecuali jika dia tidak mau lagi berbuat seperti itu maka mungkin aku akan membunuhnya malam itu.”
            Pada akhirnya Asmara membuka mulutnya dan berbicara kepada kami semua.
            “lalu, ternyata kamu malam itu membunuhnya. Apakah dia menolakmu?’
            Polisi kemudian melanjutkan pertanyaan.
            “Tidak dia tidak menolakku. Aku melakukan itu semua untuk menyelamatkannya. Malam itu akhirnya aku mengetahui dimana suamiku menginap selama ini sejak malam pertama kami berakhir yang merupakan satu-satunya malam kami tidur bersama setelah pernikahan. Aku mengetahui suamiku menginap di sebuah hotel. Malam itu aku berniat menyusulnya dan meminta pengakuan darinya mengenai kecelakaan 22 tahun yang lalu. Sperti yang telah aku katakan, aku akan memaafkannya walaupun fakta itu benar asalkan dia mau kembali bersamaku. Malam itu, aku memang membawa sebuah pistol untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi sekali lagi kutekankan pistol itu bukan untuk membunuhnya. Saat aku memasuki kamar, aku melihat suamiku hendak melakukan upaya bunuh diri dengan sebuah pistol di kepalanya. Sebelum hal yang buruk terjad, akupun menembak daerah punggung dan kakinya. Aku yakin hal itu tidak akan mematikannya. Lalu aku mendekatinya dan betapa terkejutnya aku melihat sebuah kertas yang berada di hadapannya. Lalu dia berkata hal yang mebuatku benar-benar gila.
            Sayangku, maafkan aku. Pada saat kecelakaan 22 tahun yang lalu aku sama sekali tidak meninggal, aku masih hidup. Orang yang dikubur jasadnya itu adalah orang lain dan bukan ayahmu. Aku sangat mencintai ibumu dan kamu. Ini adalah foto ibumu. Dia sangat mirip sekali denganmu bukan? Dia juga memiliki sebuah tahi lalat di ubun-ubun kepalanya. Aku menikahinya saat kami berusia 15 tahun. Sebuah hubungan yang dimulai dengan suatu kesalahan akan berakhir sia-sia,  begitu juga dengan hubungan kita. Maafkan aku, semoga kau kelak menemukan laki-laki yang tepat yang bisa mencintaimu hingga akhir masa. Ini adalah kertas uji DNA antara kau dan aku dan hasilnya menyatakan bahwa kau benar anak kandungku. Asmara, Ayah sangat menyayangimu.
            Pengakuan panjang itu ia katakan dengan kalimat yang terputus-putus di setiap hela nafasnya. Malam itu, aku benar-benar hancur. Suamiku mengatakan begitu ia menyayangiku sebagai seorang ayah. Aku mencitai ayahku sendiri dan aku telah tidur bersamanya. Aku tak sanggup jika orang lain mengetahui fakta ini maka aku menelan kertas hasil tes uji DNA tersebut. Lalu polisi datang dan menagkapku. Akupun berjanji untuk menutup mulutku dan berpura-pura menjadi gila agar nantinya ketika ayahku sadar, mungkin kami tak akan begitu menderita karena hidup dalam dunia yang terpisah.”
            Begitulah akhir dari pengakuan Asmara. Lagi-lagi kami mengetahui fakta yang mengagetkan. Kulihat Riki segera memeluk asmara dan kali ini tidak ada yang menghalangi tindakannya.
            “Asmara, Kamu tidak boleh gila. Aku sangat menyukai tulisanmu. Aku mohon jangan jadi gila apalagi dihadapanku.”
            Pernyataan Riki membuat suasana semakin mengharu. Semua orang yang mendengarkan kisah asmara meneskan air mata kecuali kedua polisi dan dokter Maya tentunya.
            “Asmara, bukankah ku bilang jika kau mempunyai masalah ceritakanlah kepada temanmu maka perasaan mu akan kembali seperti biasa. Kau bisa menceritakan semua di notebook mu seperti tulisanmu sebelumnya. Riki benar jangan pernah berusaha menjadi gila karena ada banyak orang yang masih membutuhkanmu. Bukankah kau orang yang mengajariku arti cinta dan kasih sayang hingga aku bisa menjadi seorang mahasiawa kedokteran seperti saat ini.”
            Aku pun berusaha meyakinkan begitu berharganya diri Asmara dan tulisannya. Lalu seorang polisi memberikan kabar bahwa baru saja dia ditelpon dari rumah sakit pusat bahwa ayah Asmara sudah sadar. Kulihat asmara menghela nafasnya. Mungkin ia masih takut membayangkan apa yang terjadi jika ia bertemu dengan ayahnya.
“Lalu, apa rencanamu terhadap ayahmu asmara?”
Dokter Maya langsung mempertanyakan hal yang pasti menjadi pertanyaan semua orang.
“Aku akan membina hubungan kami lagi dari awal dan membiasakan diri memanggilnya ayah. Dan mungkin setelah itu aku akan mencarikannya pengganti ibu dan meyuruhnya mencarikan laki-laki baru untukku”, ujar Asmara sambil tertawa.
“Baguslah kalau kau telah mengetahui langkah kehidupanmu selanjutnya.”
Ujar dokter Maya penuh kelegaan.
Asmara pun diantar kedua polisi menuju rumah sakit pusat untuk menemui ayahnya yang baru saja sadar. Sungguh hari ini memberikanku banyak pelajaran tentang hidup. Jam sudah menujukkan pukul 20.30 WIB. Semua orang terlihat bahagia sudah melakukan tugas terbaik hari ini. Terutama Riki yang telah mengungkapkan perasaan sukanya pada asmara. Sebelum asmara meninggalkan rumah sakit ia berkata
“Di rumah sakit ini aku menemukan cinta, kasih sayang dalam sebuah keberanian dan persahabatan yang luar biasa. Kalian telah menginspirasiku hari ini. Terima kasih kepada kalian semua sahabat.”
Iya, sampai kapanpun Cinta dan kasih sayang merupakan dasar dari setiap kehidupan. Kini tugaku berikutnya adalah pulang dan perlahan-lahan akan mengembalikan paman menjadi seperti dulu lagi dan mungkin setelah itu paman akan mulai memperhatikanku. Aku rasa semua perempuan yang aku kenal hari ini bukanlah para perempuan pelukis perasaan.




*: CoAs (Co assissten) dokter, merupakan seorang mahasiswa kedokteran yang sudah melewati kuliah teori selama empat tahun dan saatnya mempraktekkan langsung semua teori tersebut selama dua tahun dalam setiap bagian ilmu penyakit. Setelah itu barulah mereka bisa dilantik menjadi seorang dokter dengan mengucapkan sumpah dokter. Namun zaman sekarang, dengan menggunakan sistem KBK, kuliah teori dipersingkat menjadi 3,5 tahun sementara CoAs hanya berlangsung 1,5 tahun.
** Gluteus Maksimus merupakan daerad otot yang paling mencolok membentuk daerah permukanan bokong dan hamper menutupi semua otot lain dalam kelompok ini.
***Denyut nadi 120x/menit merupakan denyut nadi yang cepat bisa diakibatkan kebutuhan oksigen yang meningkat seperti dalam olahraga. Kisaran normal denyut nadi orang dewasa 60 – 100 x / menit, Denyut nadi biasa diukur dengan menggunakan tiga jari di daerah nadi pergelangan tangan dan daerah leher.
****Kompos mentis merupakan istilah kedokteran untuk menyatakan kondisi seseorang itu dalam keadaan sadar terhadap dirinya dan lingkungan sekitar. Sedangkan compos mentis terganggua digunakan bagi pasien yang diduga menderita gangguan jiwa.
*****maingering merupakan salah satu tindakan abnormal yang dilakukan dengan sengaja dan mempunyai motif tertentu, contohnya sering terjadi dalam proses hokum.
****** MMPI-2 merupakan singkatan dari Minnesota Multiphasic Personality Inventory merupakan cara untuk mengevaluasi psikometri dengan berbagai rangkaian skala dan dapat digunakan untuk mendeteksi dini perbuatan malingering
******* Amitriptyline merupakan salah satu obat antidepresan yang digunakan untuk pasien yang mengalami depresi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar