Sabtu, 16 April 2011

Program perdana FKR "Karena aku bukan perempuan pelukis perasaan" Episode satu: Aku Hanya Ingin Mandiri by Fajriani Kurnia Rosdi on Thursday, February 24, 2011 at 4:26pm



            Siang ini, di bawah langit biru berselimutkan awan beruas, aku berjalan mengitari melati putih yang suci. Kemudian semilir angin berhembus menjatuhkanku di ats rerumputan hijau yang basah akibat tetesan hujan. Kupejamkan mata merasakan aroma Ikan Mas Panggang masakan ayah terlezat. Saat hendak bangkit kembali, seekor kupu-kupu hitam terbang lalu hinggap di atas kepala. Dari balik pintu kaca taman belakang, ku tatap wajah ayah yang sedang memasak ditemani si manis Melinda yang masih berumur lima tahun. Segenap kekuatan dating hingga aku mampu menatap matahari yang bersinar terik pada titik terdekatnta terhadap bumi.

     “Ayah…mbak sudah pulang”
     Teriakan Melinda terdengar sangat manja.
     “Assalamu’alaikum cantik, bantu ayah masak ya sayang..”
   Ku kecup dahi Meli dengan penuh rasa sayang lalu ku raih tangan ayah, menciumnya, memberi salam sebagai rasa penghormatan tertinggiku untuknya.

    “Sayang, aku sudah sangat lapar”
Aku mengambil peralatan makan dan menyiapkannya di atas meja. Sayang merupakan panggilan gombalanku kepada ayah. Hubungan kami sangat dekat apalagi sejak ibu meninggal tiga tahun yang lalu akibat keguguran saat hamil adikku yang kedua.
   “Sabar dong sayang, lima menit lagi gak pake lama”, ayah membalas godaanku. “oh ya Win, kamu darimana? Bukannya hari ini gak ada jadwal kuliah?”
  “Aku tadi ngajar les anak dosen yah, mereka sebentar lagi mau UAN.”
  “Kamu kok banyak banget kerjaan akhir-akhir ini? Uang jajan kamu kurang?”
  “Nggak kok yah, I just want to be an independent girl.”
Aku berusaha meyakinkan ayah bahwa tidak ada masalah yang mengganggu.
   “Okay sweety, I believe in you.”
Ayah mengerlingkan matanya seraya tangan mengangkat panggangan ikan yang telah matang.
   “Ayah….Meli juga ingin bisa berbahasa inggris.”
Meli kembali berteriak manja.
   “Mungilku sayang, kalau gitu kamu harus jadi anak yang pintar seperti ibu dan mbakmu.”
Ayah menggendong Meli dan menaikkannya ke atas pundaknya.
Rasanya hangat sekali jika bersama ayah dan meli. Tak ada kebahagiaan sejati selain hidup bersama keluarga di dalam istana kecil penuh cinta, bunga, dan lukisan. Semua hiasan yang berada di istana kami merupakan hasil karya ayah, ibu, dan aku. Ayah berprofesi sebagai seorang pembuat taman kecil-kecilan. Dalam satu bulan biasanya ayah melakukan 3-4 proyek pembuatan taman. Sementara aku merupakan seorang mahasiswa fakultas seni jurusan seni rupa. Bakat melukisku diturunkan dari ibu yang di masa mudanya merupakan sorang pelukis abstrak terkenal.
   “Bismillahirrahmanirrahim….Mari Makan!!!”
Meli memimpin doa dan ucapan selamat makan seperti biasa. Aku mulai mengira meli akan menjadi seorang penari nantinya karena masih kecil saja setiap gerakannya sangat lentik.
Masakan ayah sangat lezat. Setiap hari kami dihidangkan makanan lezat yang bervariasi. Walaupun ayah merupakan seorang laki-laki yang berstatus duda selama tiga tahun, ayah tak pernah berniat mencari ibu baru untuk kami. Ayah pernah berkata bahwa dirinya adalah lelaki hebat yang bisa menjaga dan mendidik kami hingga dewasa, namun dia tidak hebat dalam melupakan ibu. Ketegaran dan perjuangan ayah yang membuatku berubah menjadi perempuan yang mandiri dan selalu tegak dalam setiap menjalani keidupan. Ayah selalu berkata jalan kehidupan itu tak selamanya lurus, terkadang berbelok, mendaki, bahkan menurun. Untuk itu, kita harus selalu siap menjadi pengemudi roda kehidupan yang baik.
    “Ayah, aku ke kamar ya, ada job baru.”
Aku segera pamit dan beranjak menuju kamar penuh inspirasi setelah acara makan siang kami selesai.
“Sukses ya cantik…”
Aku hanya bisa tersenyum setiap ayah menggodaku. Maklum saja, tak ada lagi perempuan lain yang dekat dengan ayah selain kami berdua.
Semerbak wangi Dahlia mulai aku rasakan saat membuka pintu kamar. Kuregangkan seluruh badan , lalu membuka memo catatan pekerjaan hari ini. Ada taiga buah pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan rumah anak SD, membuat gambar peta Australia, membuat anyaman dari pita Jepang, dan terakhir berkreasi dengan menggunakan tanah liat. Ada sebuah catatan kecil di bawah memo. “Mbak Wina buat yang bagus ya biar aku ranking satu.” Adik ini kecil-kecil sudah berbuat curang untuk menjadi juara. Tak ingin membuang waktu, aku langsung mengambil peralatan menggambar dan atlas benua Australia tentunya. Sesaat hendak mulai bekerja ponselku bordering dan merupakan panggilan dari Dila musuhku sahabatku.
     “Hai Wina, aku tahu kamu sedang merahasiakan sesuatu dari Wendi.”
     “Maksud kamu apa dil?”
     “Kamu akhir-akhir ini kerja begitu keras untuk mendapatkan uang sepuluh juta kan?”
     “Kamu buntuti aku lai Dil?”
Aku bingung kenapa ada manusia yang suka nguntit seperti Dila.
  “Iya dong, aku gak akan bahagia selama kamu masih bahagia bersama Wendi. Kamu itu cocoknya gak punya teman win.”
  “Gila kamu.”
  “gak penting, tapi benar kan kamu butuh sepuluh juta dalam waktu dekat? Aku ada job buat kamu dan langsung dapat tunai sepuluh juta, gimana?”
  “Kerja apa emangnya?”
  “Jadi pembantu sehari di rumah pacar baruku.”
  “Gak waras kamu dil!!!”
Kuputus langsung percakapan dengan dila melalui ponsel yang menurut aku sangat membuang-buang waktu. Walaupun hanya sehari, tetap saja yang namanya pembantu berarti aku akan dipandang rendah sama dia. Ponselku tiba-tiba bordering kembali dan kali ini tanda sms masuk. Ternyata sms dari Dila yang berisi
 Aku serius. Pembantu sehari setelah itu ku bayar lunas sepuluh juta. Aku juga akan mengawasi. Jika berminat, hubungi aku dan aku akan segera mengirim alamat rumah  ;)
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Sudah sepuluh menit waktu terbuang sia-sia. Beberapa saat mulai menggambar Meli masuk tiba-tiba dan mengangguku bekerja. Anak itu menari-menari di depanku.
“Mbak itu Australia bukan bacanya? Australia itu negeri Kangguru ya mbak?, mbak…mbak…mbak bisa tarian Kangguru? Coba dong mbak, aku mau lihat..”
“Sayang, mbak lagi kerja, nanti kita main kalau sudah selesai ya sayang.”
“Gak mau mbak, atau aku nangis.”

Meli langsung berbaring melengkung. Repotnya jadi seorang kakak, aku pun berdiri dan berkreasi menciptakan tarian Kangguru. Tetapi, baru beraksi beberapa gerakan, pandanganku tiba-tiba saja kabur dan perutku sakit sakali. Sakit muncul mendadak sekali. Sebuah suara tiba-tiba saja mncul. “Wina, kamu istirahat saja dan pekerjaanmu akan selesai sebentar lagi.” Suara itu begitu menenangkanku. Hingga aku seperti melayang tanpa merasakan sakit lagi.
****       
   Udara yang dingin menyadarkanku dari tidur panjang. Semerbak wangi dahlia yang aku rasakan saat pertama kali membuka mata. Kulihat jam menunjukkan pukul 06.30. Cahaya pagi menembus kaca jendela kamar. Sejenak senyumku hilang saat teringat pekerjaan yang harus diserahkan pagi ini. Aku mulai panic dan beranjak dari tempat tidur untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat semua pekerjaan telah selesai begitu indah. Sebuah kerajinan tanah liat rumah dengan anggota keluarga yang saling bercanda di beranda, anyaman tikar pun telah selesai dengan rapi, begitu pula dengan gambar benua Australia. Melihat hal mengharukan tersebuta, aku langsung keluar untuk menemui ayah. Suara nyanyian anak kecil terdengar dari taman belakang. Ternyata ayah sedang memandikan Meli. Tanpa menunggu waktu lagi, aku berlari dan langsung memeluk ayah seperti sikap anak-anak seusia Meli.
            “Ayah, sepertinya aku tak akan bisa hidup tanpa dirimu. Terima kasih ya sayang.”
            Ayah lalu membelai rambutku dengan kasih sayangnya.
            “Mbak sudah sembuh? Mbak, kemarin meli sudah nakal jadi meli minta maaf.”
            “Nggak sayang, semua bukan salah Meli.”
            Aku menghapus air mata meli yang seketika itu jatuh.
            “Wina, ayah harap kamu gak usah lagi aktif kerja dan kejadian pingsan di dalam rumah gak akan pernah terjadi lagi.”
            “Siap ayah, aku mandi dulu ya. Biar aku yang antar Meli pagi ini. Rumah Pak Albert, dosen wina satu wilayah dengan Tk meli.

            “Iya. Hati-hati jangan terlalu semangat.”
            Pagi ini cerah sekali. Aku sepintas teringat Wendi. Aku berusaha menenangkan diri dan meyakinkan bahwa ada banyak hal lain yang lebih penting dari hanya sekadar cinta dan wendi. Dan ternyata laki-laki itu telah menungguku dip agar Tk Meli.
            “Mas Wendi….”
            Meli berlari kea rah wendi riang sekali.
            “Hai adik cantik, apa kabar sayang?”
            “Seperti biasa tidak ada mas berarti tidak ada coklat juga.”
            Akupun tersenyum mendengar kepolosan meli dan aku mendapatkan ide cemerlang.
            “Kalau gitu, meli nanti pulang dijemput mas Wendi biar langsung dibelika coklat, gimana wen?”
            “Ya mbak.”
            Meli langsung masuk ruang kelas dan terlihat sangat bahagia bermain bersama teman-temannya.
            “Win, ayahmu cerita kamu malam tadi pingsan karena terlalu banyak pekerjaan. Kamu sibuk apa?”
            “Aku ingin mandiri, itu saja.”
            “Aku Tanya kamu sibuk apa?”
            Wendi terlihat bête dan marah.
            “Eh wen, tunggu bentar ya, itu ada nenek yang kesulitan nyebrang, kasihan dia.”
            Aku berlari menghampiri nenek yang sejak sepuluh menit yang lalu belum berhasil menyebrang.
            “Ya, urus saja selalu diri kamu dan orang lain. Aku juga banyak kerjaan.”
            Wendi berteriak dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku kembali menenangkan diri bahwa ada banyak hal lain yang lebih penting dari sekadar cinta dan wendi. Ku rangkul bahu nenek agar memberikan rasa aman saat kami menyebrang.
            “Makasih ya nak, semoga kamu sehat selalu.”
            Nenek lalu membelai rambutku.
            “Amin Ya Allah. Makasih juga nek atas doanya.”
            Aku kembali melangkahkan kaki dengan riang dan penuh semangat. Saatnya ke rumah pak Albert dan setelah itu melakukan pekrjaan baru lainnya.
     ****
     Tepat saat matahari mulai tergelincir, aku menyusuri jalan aspal kecil. Jalan yang begitu kecil dan hanya untuk satu kendaraan. Hatiku mulai ragu untuk terus melangkah. Di penghujung jalan, sebuah rumah mewah berdiri kokoh menghadap ke arah timur. Jujur saja aku gak akan sanggup menjadi pembantu di rumah sebesar ini walaupun hanya sehari. Gerbang pagar masih tertutup rapat dan aku menekan tombol bel kamera.
            “Dil, aku sudah di luar.”
            “Spertinya kamu sudah siap jadi pembantu sayang.”
            Dila meledekku setelah pelihat pakaian yang aku pakai hari ini kemudian dia secepat kilat keluar membukakan pagar.
            “Selamat datang bik!
            “Gila, rumah segede ini gak ada satpam dan pembantunya?”
            “Ada win, tapi hari ini spesial jadi mereka libur.”
            “Hari spesial?”
            “Ya, hari spesial kamu jadi pembantu bik wina.”
            Dila terlihat senang sekali bisa berada di atasku saat itu. Dila adalah temanku sejak SD. Kami selalu bersama, tetapi persahabatan kami dilandasi dengan rasa saling benci dan iri. Aku tak pernah memerdulikan hal tersebut. Bagiku Dila adalah sahabat terbaik dan itu terbukti saat ibu meninggal, dia teman yang selalu berada  di sampinhku.
            Sesosok laki-laki berbadan tinggi, modis, dan berwajah tampan keluar rumah menhampiri kami.
            “Win, dia Erwin pacar baruku dan pemilik rumah ini. Erwin, dia wina musuhku sahabatku dan merupakan pembantu kamu hari ini.
            “Oke sayang.”
            Erwin hanya mangut-mangut. Kemudian kami bertigapun masuk ke dalam istana super besar itu.
            “Win, kamu bersihkan kamar Erwin setelah itu halaman belakang dan bersihkan seluruh sudut rumah tan menyisakan debu sedikitpun.”
            Dila memberikan instruksi. AKu yakin Dila bahagia sekali bisa memerintahku seperti ini.
            “Oke, aku bersihkan.”
            Demi sepuluh juta dan masa depan, aku rela bahkan menjadi seorang pembantu sehari di hadapan teman sendiri. Tetapi jujur saja dila itu benar-benar sudah tidak waras. Apa yang dinginkannya dari berbuat seperti ini kepadaku. Dila sedang duduk di taman belakang duduk santai bersama Erwin. Mereka terlihat bahagia, tetapi mengapa dia masih saja ingin agar aku tidak bersama wendi. Alasan yang paling logis adalah karena dia sudah tidak waras lagi.
            Baru satu jam bekerja dan itupun belum seluruh sudut kamar Erwin yang aku bersihkan, pandanganku kembali kabur. Aku berusaha menahan diri, namun kepala dan perutku terlampau jauh sakit sekali. Aku melihat wajahku di cermin dan darah mulai mengalir dari hidungku. Pandanganku semakin kabur dan jiwaku seakan melayang. Sejenak pikiranku terhenti hingga Dila menyebut namaku dengan lembut tidak seperti biasanya.
            “Wina…wina….wina…”
            Kedua mataku terbuka dan terlihat Dila sangat cemas sekali.
            “Maaf Dil, aku akan kembali bekerja.”
            Baru hendak berdiri, Dila kembali menarik tanganku. Tubuhku yang terlalu lemah mudah saja dikendalikan.
            “Kamu kenapa lagi Dil? Aku mau kerja.”
            “Kamu butuh uang sepuluh juta untuk daftar ikut perlombaan melukis internasional itu kan? Kamu mau mendapatkan beasiswa sekolah lukis di Roma. Kenapa kamu gak pernah jujur? Kamu sudah gila wina dan sekarang aku yakin kamu pasti sakit.”
            “Benar, kamu sangat benar. Kamu takut bersaing dengan aku bukan? Sudahlah, aku mau kerja dan setelah itu beri aku sepuluh juta. Mari kita bersaing secara sehat.”
            “Win, aku gak pernah nyangka ternyata kamu gak hanya egois, tetapi juga sombong. Kamu begitu baik dengan keluarga dan orang lain tapi kamu tidak menyayangi diri kamu sendiri. Melinda gak pantas punya mbak seperti kamu. Ini uang sepuluh juta karena aku kasihan pada tubuh Wina dan bukan pada Wina. Dan terakhir, Wendi itu seorang penjudi”
            Dila pergi meninggalkanku Pandanganku kembali kabur dan kali ini sakit kepalaku berlipat ganda rasanya. Ku lihat jam sudah pukul empat sore. Seharusnya Meli pulang lima jam yang lalu. Mungkinkah Wendi tidak menjemputnya apalagi dia tadi begitu marah kepadaku. Aku tidak bisa berpikir karena kepalaku benar-benar sakit sekali.
            “Dila, Meli tidak ada yang menjemputnya di Tk. Tolong jemput Meli…..”
            Aku tak bisa bersuara lagi, tubuhku begitu lunglai dan kemudian terhempas jatuh ke daratan. AKu kembali tertidur  panjang. Dalam tidur aku bermimpi bersama ayah dan Meli berada di sebelah lukisan sang maestro Leonardo da vinci di kawasan Temple University Rome.  Begitu aku terbangun dari mimpi, kulihat sosok ayah, Meli, dan Dila.
            “Meli, kamu sudah pulang? Mbak minta maaf ya sayang. Mbak telat menjemput kamu.”
            Aku begitu lega karena Meli terlihat sehat dan tidak terjadi apa-apa.
            “Meli di jemput ayah mbak, tapi itu kan kemarin. Mbak tidur nya lama sekali.”
            Meli memelukku, sepertinya dia kangen bermain bersamaku.
            “Ayah, Wina minta maaf.”
            Aku menoleh menatap ayah. Tak kuasa aku menahan air mata agar tidak jatuh. Aku telah banyak berbuat salah kepada orang-orang yang menyayangiku. Termasuk Dila sahabat terbaikku.
            “Sayang, kamu jangan pernah lagi menyimpan rahasia dari ayah. Kamu benar-benar bodoh sayang.”
            Ayah membelai rambutku. Kemudian mengecup dahiku. Hangat sekali rasanya.
            “Hey Nona Wina yang tidak menyangi diri sendiri, tau gak kamu itu sudah tiga hari terinfeksi demam berdarah. Gila kamu, coba bayangkan jika tidak diobati, bagaimana mau ikut ujian seleksi beasiswa ke luar negeri? Kamu mengerti maksud temanmu ini kan?”
            “Apa, demam berdarah? Benar ayah?”
            Aku seakan tak percaya. Namun ku lihat ayah menganggukkan kepalanya.
            “Untung saja belum terlambat, aku baru saja bermimpi berada di dalam museum Leonardo da vici, InsyaAllah enam bulan lagi.”
            Aku berteriak sangat yakin sekali.
            “Amin…”
            Semua orang yang berada di ruang rumah sakitpun mengaminkan mimpi-mimpiku.
            Aku akan mengejar mimpiku menjadi pelukis terkenal agar bisa membanggakan ayah. Ibu, Meli, dan sahabat terbaikku Dila. Rasanya memang begitu hangat jika berkumpul bersama orang-orang yang disayangi. Ternyata memang ada banyak hal lain yang lebih penting dari hanya sekedar cinta dan Wendi. Semua yang terjadi saat ini bukan karena aku tak mampu mengendalikan jalan kehidupan yang lurus kemudian berbelok, mendaki, hingga menurun, namun karena aku wanita mandiri yang selalu tegak dalam menghadapi kehidupan karena aku bukan perempuan pelukis perasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar