Sabtu, 16 April 2011

Program perdana FKR "Karena aku bukan perempuan pelukis perasaan" Episode Dua: Sebuah Tahi lalat di atas ubun-ubun kepala

Seharusnya kau berada di sisiku
Mengusir sepi yang menyelimutiku
Di sabtu malam janjimu
Tak sabar kumenunggu
Walau kesal hatiku
But it's ok!

Kucoba memberikan toleransiku
Bikin resah, buyarkan konsentrasiku
Apakah engkau merasa
Aku bukan manusia
Yang tak luput dari rasa amarah

Reff:
Kuakui, kau memang manis
Tapi kau iblis
Kau pikir kaulah segalanya
Tuk dimaklumi
Ga juga
Tuk ditakuti
Walau mempesona
Membutakan mata
Tapi bisa kubalas kau lebih gila

Waktu menunjukkan jam sepuluh malam
Suasana kurasakan begitu kelam
Firasatku mengatakan
Tak mungkin engkau datang
Tak seperti yang telah kau janjikan
Seperti biasa, setiap pukul 06.00 pagi paman menghidupi alunan musik ini dengan sangat kencang. Tak ada lagu lain yang lebih indah daripada lirik lagu tersebut. Maklum saja, lirik lagu ini menggambarkan kisah cinta pertama paman terhadap seorang gadis yang hanya berlangsung satu malam saja. Kata paman, gadis itu mengkhianatinya setelah mereka bercinta satu malam di sebuah motel. Sebenarnya paman ingin sekali bertanggung jawab karena ia sangat mencintainya, namun gadis itu akhirnya menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
            “Yiyin, Kau sudah berangkat? Jangan lupa kopi untukku taruh di atas meja!”
            Paman berteriak diantara alunan musik yang juga terdengar keras dari kamarnya.
            “Iya paman, sudah aku taruh.”
            “Kalau begitu hati-hati di jalan.”
            Paman sama sekali tidak keluar kamar dan melihatku pergi. Sepertinya paman benar-benar lupa har ini sangat spesial bagiku.
            “Paman…kau tak mau melihatku pagi ini? Apa kau benar-benar lupa sesuatu?”
            Aku masuk saja ke kamar paman yang sangat berantakan dan menyalaminya.
            “Ya Tuhan Yin, kau sudah berseragam? Jadi mulai hari ini kau sudah jadi dokter? Yin, aku benar-benar bangga padamu nak.”
            Paman mengguncang-guncang pundakku dengan sangat kuat hingga rasanya sedikit sakit.
            “Paman….”
            Aku menghela nafas pelan. Aku putus asa dengan keadaan paman yang seperti ini. Dipkirannya hanya ada dia dan dunianya.
            “Yin, kau kenapa? Hari ini aku yakin kau akan sukses sayang!! Yuhu!! Kuakuiii kau memang manisss…tapi kau iblis….kau pikir kaulah segalanya!!!!!”
            Paman kembali tenggelam dalam kegilaan dunia mayanya.
            Namaku Arina Putri, berusia 22 tahun, biasa dipanggil Arin oleh teman-temanku. Namun paman biasa memanggilku Yiyin. Aku dibesarkan oleh paman tanpa sosok seorang ayah dan ibu sejak awal masa sekolahku. Aku anak dari seorang mantan PSK yang sering tidur dengan banyak lelaki. Ibu insaf dan berhenti dari pekerjaannya sejak ia mengandungku. Ibu menjaga dan mendidikku dengan penuh kasih sayang. Ibu memberikanku ASI dan sempat mengajariku membaca. Ibu mulai meniti pekerjaan baru dari bawah sebagai seorang tukang masak sebuah restoran yang kemudian berujung sukses membuka usaha catering. Ibu tak pernah memberikanku makan dengan menggunakan uang haram. Sayangnya, ibu hanya bersamaku hingga aku berusia 5 tahun karena ibu meninggal dengan alasan yang tak pernah diketahui hingga sekarang. Meskipun ibu meninggal saat aku masih kecil, aku masih bisa mengingat saat-saat ibu bersamaku dan aku tahu betapa ia menyayangiku. Setelah ibu meninggal, aku hidup bersama paman, satu-satunya keluarga ibu. Paman merupakan seorang sarjana teknik. Ia merupakan mahasiswa berprestasi. Aku ingat saat menghadiri wisuda paman, saat itu aku kelas dua SMP, paman yang mengenakan pakaian toga maju ke atas panggung menerima ijazah cum laude dari pak rektor. Paman terlihat gagah sekali saat itu. Stelah tamat kuliah, paman sempat bekerja di sebuah perusahaan dengan posisi baik. Kehidupan paman berubah setelah ia bertemu dengan cinta pertamanya yang akhirnya menjadi racun baginya. Perempuan itu bagaikan mawar berduri bagi paman. Lalu dimana ayahku? Hingga sekarang tak ada yang mengetahui sosok ayah seperti apa, bahkan termasuk ibu.
            Tumbuh dalam kondisi keluarga yang sedikit berbelok tak membuatku menjadi anak yang salah arah. Aku ikhlas menerima semua takdir tuhan, justru aku bertekad untuk mengubah kelas harkat dan martabatku menjadi yang terbaik. Semua tekadku mulai terlihat nyata sejak aku terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran. Sudah empat tahun aku belajar banyak ilmu yang semakin membuatku takjub akan kehidupan dan kekuasaan tuhan. Melalui ilmu yang telah aku punya, aku yakin suatu saat nanti akan dihargai masyarakat walaupun aku dilahirkan tanpa ayah. Hari ini adalah hari pertama aku mengaplikasikan ilmuku, yaitu sebagai seorang CoAs*. Stase awal yang akan aku tempuh adalah stase jiwa. Dengan seragam putih baru yang kupakai, aku mulai kehidupan di pagi ini dengan langkah kaki mengiringi awan yang berjalan. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 06.30. Jika 15 menit aku naik angkot, maka aku akan hadir 15 menit sebelum kelas dimulai dan itu berarti aku tidak akan terlambat. Pagi ini, kendaraan sudah banyak yang berlalu-lalang. Aku menunggu angkot di sebuah halte. Ada dua orang lainnya di halte tersebut, seorang pegawai bank dan seorang lagi laki-laki berjaket hitam dengan banyak anting-anting di telinganya. Tiba-tiba sebuah kegaduhan pun terjadi.
            “Kurang ajar kamu! ini pelecehan seksual namanya!”
            Plok!!! Pegawai bank itu menampar laki-laki yang sedari tadi berdiri disampingnya setelah laki-laki itu meremas pantatnya tepat di daerah gluteus maksimus**. Aku juga menyaksikan adegan senonoh tersebut. Pegawai bank itu lalu merasa tak puas dan membekuknya hingga laki-laki itu terjatuh. Perempuan zaman sekarang memang memiliki banyak kemajuan. Ini baru namanya emansipasi wanita.
            “Suster, kamu lihat kan tindakan laki-laki ini? Ayo kita ke kantor polisi sekarang!”
            “Apa mbak? Ke kantor polisi?”
            “Iya, sekarang juga ke kantor polisi!!”
 **********************************************************************************************
            Pegawai bank itu berteriak ke arahku.
            Saat ini tepat pukul 07.58 WIB, aku berlari menyusuri lorong-lorong jalan rumah sakit. Keingat mengucur dengan derasnya sedari tadi. Ku hitung denyut nadiku 120x/menit***. Naluriku sudah terbiasa untuk menghitung denyut nadi setiap perubahan kondisi tubuh. Tepat di tengah-tengah rumah sakit ada gedung berwarna hijau, aku berbelok ke arah gedung itu dan berhenti di depan sebuah kelas yang pintunya tertutup rapat. Sepertinya kelas sudah dimulai, kutenangkan diri sejenak lalu kubuka pintu itu.
            “Saya Arina Putri, CoAs angkatan 2004. Maaf dok saya terlambat 1 jam 3 menit.”
            Saat itu kulihat jam menunjukkan pukul 08.03 WIB. Keringat masih saja mengucur membuatku sangat gerah. Kelas menjadi sangat hening setelah kedatanganku. Lima orang teman sekelompokku, seorang dokter muda, dan dua orang perawat menatapku penuh kengerian, Dalam hati mereka mungkin berkata Gila!!!!! Kamu gak tahu dokter ini macan!!!
            “Oke, kamu tidak salah kepada saya. Sekarang kamu bisa keluar!”
            “Tapi dok….”
            “Suster Dina, Ini kertas CoAs yang sudah terdaftar disimpan. Ajak mereka berkeliling rumah sakit. Jika ada mahasiswa baru mau menulis namanya di sini, bilang tahun depan saja datang lagi.”
            Denyut nadiku bertambah cepat setelah mendengar kata-kata itu. Aku lalu mengikuti langkah dokter Maya, dokter kepala rumah sakit dan merupakan kepala di stase jiwa ini.
            “Dok, sesungguhnya saya sudah berangkat dari rumah pukul 06.30, hanya saja saya mengalami suatu musibah. Ada sebuah kasus pelecehan seksual yang menyebabkan saya harus menjadi saksinya.”
            Aku memberikan penjelasan dengan suara yang sedikit terbata-bata.
            “Oke, kalau kamu memang seorang pemberani yang pernah menjadi saksi kasus pelecehan seksual, kamu bisa menghadap dekanat dan minta merubah stase ke bagian lain. Saya banyak pekerjaan.”
            Langkahku mulai goyah. Tak pernah muncul di benak pikiran bahwa hari pertama akan gagal seperti ini. Kulihat teman-temanku senang sekali mengawali langkah pertama mereka. Tak ada satupun diantara mereka yang menghampiriku. Aku pun duduk di kursi taman yang terletak di salah satu pojok halaman rumah sakit. Kata orang, kursi ini merupakan kursi keajaiban. Setiap pasien yang pernah duduk di kursi ini dengan keinginannya sendiri merupakan sebuah pertanda kesembuhan mereka. Aku tak mengetahui mitos itu berasal darimana. Aku hanya duduk saja menunggu waktu berjalan agar aku tak merasa bersalah jika harus pulang terlalu pagi. Di antara waktu yang kosong ini, kulihat dua orang polisi membawa seorang wanita yang berjalan dengan menundukkan kepala. Wanita itu menggunakan seragam narapidana. Mereka memasuk gedung hijau dan tepatnya memasuki ruang interview. Kemudian kulihat dokter Maya dan teman-temanku memasuki ruangan yang sama.
            “Dokter, kami minta pasien ini untuk diselidiki apakah benar memiliki gangguan jiwa. Dia bernama Asmara Indriyani, 23 tahun, seorang penulis terkenal. Kami butuh kesaksian kasus percobaan pembunuhan terhadap seorang laki-laki di sebuah hotel. Ditemukan sidik jari pasien di pistol yang diduga digunakan untuk membunuh korban, tetapi korban juga memiliki pistol saat ditemukan. Dan berdasarkan data dari pihak hotel bahwa pasien tidak bersama korban saat melakukan check in. Pasien tidak berbicara sepatah katapun sejak penangkapannya. Tak ada keluarga Kami menginginkan kasus ini cepat selesai karena pasien merupakan seorang publik figur terkenal. ”
            Seorang polisi memberikan penjelasan mengenai pasien.
            “Baiklah, kami akan membantu dan memberikan terapi hingga pasien mau berbicara memberikan kesaksian. Namun, untuk menyelidiki kasus ini bukanlah kewajiban kami. Setelah nanti kami merasa pasien sudah mampu memberikan kesaksian maka kami tidak bertanggung jawab lagi kecuali jika didapatkan pasien menderita gangguan jiwa berat maka pihak rumah sakit mengambil alih tanggung jawab sepernuhnya terhadap pasien hingga ia sembuh”
            “Baiklah dokter Maya, anda sudah mulai bisa bekerja. Kalau bagitu kami pamit sekarang.”
            Kedua polisi itupun meninggalkan ruangan dengan ditemani dokter Maya.
            “Bagaimana keadaan anda sekarang Nona Asmara?”
            dr.Deni langsung memulai petanyaan, tetapi tak ada respons dari pasien.
            “Apakah anda pernah mendengar suatu suara atau sebuah perintah sebelum anda melakukan penembakan tersebut?”
            Tari menambahkan pertanyaan dan tetap tak ada respons. Pasien terus menundukkan kepala dan diam.
            “As..ma..ra.. Aku Riki, seorang penggemarmu sejak kamu menulis cerpen di majalah Bobo, aku benar-benar terpukul melihat kamu seperti ini”
            Riki menjatuhkan tubuhnya dan menunduk menangis meraung-raung. Sikap Riki sontak mengagetkan semua orang, termasuk asmara, ada sedikit respons dimana asmara melihat ke arah Riki.
            “Hei Riki, kita ini sedang berpraktek, kamu tidak boleh cemen seperti itu!”
            Dr.Deni memarahi Riki sementara Gigi, Vivi, dan Toni ikut menagis menenangkannya. Sesaat setelah kejadian norak mengharukan itu, dokter Maya kembali masuk ruangan.
            “Bagaimana status pasien?”
            “Keadaan kompos mentis terganggu****, dari tadi hanya diam menundukkan kepala jadi belum bisa ditemukan gejala gangguan jiwa. Sepertinya pasien mengalami depresi berat.”
            Dokter Deni memberikan penjelasan kondisi pasien.
            “Apa tindakan yang bisa diberikan?”
            Dokter Maya kembali bertanya.
            “untuk mengetahui apakah pasien mempunyai indikasi malingering*****, kita bisa menggunakan tes MMPI-2******.”
            Riki memberikan penjelasan. Sepertinya dia mulai sadar dengan posisi dirinya saat ini.
            “Tapi, apakah dalam kondisi dia seperti bisa langsung dilakukan MMPI?” Tanya Vivi.
            “Apa maksud pertanyaanmu Vi?”
            “Bukankah MMPI akan sia-sia jika pasien belum bisa kooperatif”, Vivi menjelaskan maksudnya.
            “Iya itu benar, sebaiknya kita berikan amitriptyline******* terlebih dahulu setelah itu baru kita berikan tes.”
            Dokter Deni memberikan pendapat.
            “Oke, sekarang kalian perhatikan. Seandainya satu hari saja matahari tak bersinar, apakah manusia akan seluruhnya bersyukur terhadap karuniaNya? Ha…Mungkin saja itu tidak akan terjadi karena kemoralan itu sudah tidak pernah lagi aku temukan di kehidupan ini.”
            Setelah mendengar kata-kata dokter Maya semua orang tertegun heran dan pasien Asmara mulai mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah dokter Maya.
            “Itu kutipan kalimat dalam artikel “Keterpurukan abad 21” karya Asmara. Benar kan dokter?”
            Riki bertanya semangat sekali.
            “Benar, apaka kalian punya pendapat sekarang?”
            Tak ada satupun yang menjawab, lalu entah kekuatan darimana akhirnya aku memberanikan diri masuk dari persembunyian.
            “Pasien Asmara Indriyani tidak mengalami gangguan jiwa. Orang yang mengalami gangguan jiwa akan sibuk dengan dunianya. Pasien terus diam namun selalu memberikan respons positif setiap hal-hal mengagetkan yang menyangkut dirinya. Setiap hal-hal yang tidak menyangkut dirinya ataupun hal biasa, dia hanya diam dan hanya mendengarkan. Saya sangat yakin dia mengerti apa yang dibicarakan sejak tadi masih ada  kehadiran polisi. Jadi hanya tersisa satu alasan dia diam karena sengaja ingin menutupi suatu hal dari hukum. Berarti benar dia masuk ke dalam indikasi malingering.
            “Sejak kapan kamu berada di luar? Bukankah tadi saya menyuruh kamu keluar.”
            Dokter Maya menatap kemarahan ke arahku.
            “Kalau begitu, langkah yang harus kita lakukan terapi bagaimana membuat pasien mau dan mampu berbicara memberikan kesaksian. Dari awal intuisiku sebagai calon dokter memang telah berpendapat Pasien Asmara tidak mungkin mengalami gangguan jiwa. Sepertinya kasus ini menarik.”
            Gigi menyetujui pendapatku.
            “Kenapa kita tidak langsung langsung menyerahkan kembali kepada kepolisian?” Tanya Nia.
            “Lebih baik kita saja yang melakukannya. Menurut pengalaman, pasien tidak akan pernah bicara. Polisi biasanya terlalu menekan dan takutnya kondisi pasien justru memburuk. Apalagi Asmara merupakan seorang penulis yang pasti selalu dinantikan masyarakat. Jangan sampai kasus ini berlarut-larut dan membuat masyarakat kecewa dan memberikan trauma bagi Asmara. Lagipula saya sangat yakin Asmara bukan seorang yang berniat untuk membunuh apalagi menjadi seorang pembunuh.”
            Dokter Deni memberikan pendapat yang mementingkan banyak aspek.
            “Iya, saya setuju. Saya tidak ingin idola saya terpuruk di tangan polisi.”
            Riki menambahkan pernyataan dokter Deni.
            “Baiklah, pendapat kalian semua benar. Namun, saya menganggap kalian hari ini menentang saya karena membiarkan orang yang berani melawan aturan di hadapan saya sendiri.”
            Dokter Maya memberikan penekanan terhadap semua orang yang berada di ruangan. Dokter Deni dan teman-temanku pun menjadi terlihat tegang sekali.
            “Dokter, saya tidak melanggar peraturan. Bukankah peraturan terakhir di rumah sakit ini bahwa semua peraturan tidak diberlakukan jika ada peraturan lain yang membenarkannya disertai bukti yang kuat dan nyata. Peraturan itu ditandatangani oleh pendiri rumah sakit dan bisa dibaca di area depan rumah sakit. Satu lagi sebenarnya pagi ini telah ada pelanggaran peraturan lain, tetapi anda tidak melihatnya malah justru semakin memojokkan saya.”
            Aku bagaikan anak yang menerjang macan saat ini. Semua orang yang ada di ruangan itu bertambah tegang, termasuk Asmara pun sepertinya mengikuti pembicaraan kami.
            “Apa maksud kamu pelanggaran lainnya?”
            Dokter Maya balik bertanya kepadaku.
            “Dokter telah melanggar peraturan bahwa seorang mahasiswa berhak menyatakan pendapat dan pernyataann pendapatya tersebut wajib didengarkan. Setidaksuka apapun dokter kepada saya pagi ini, saya masih menjadi mahasiswa Kedokteran di kampus ini secara resmi. Jadi saya mohon kali ini dokter mau mendengar saya kali ini. Empat tahun saya mempersiapkan hari ini. Hanya karena suatu musibah yang menyebabkan saya terlambat dokter langsung menyuruh saya keluar dan kembali lagi tahun depan. Dokter sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasan alasan saya terlambat. Saya sangat sungguh-sungguh untuk hari ini bahkan saya tahu rumah sakit ini seluas 4 hektar yang terdiri dari 123 ruangan, dengan saat ini jumlah pasien yang menginap 89, ditambah Asmara menjadi 90 pasien….”
            “Oke, apa peraturan lain yang membenarkan kamu beserta buktinya.”
            Dokter Maya memberhentikan pembicaraan yang memojokkan dirinya dan bagiku itu sungguh mendalam.
            “Peraturan Negara bahwa seorang warga Negara yang baik wajib memberikan kesaksian atas suatu tindakan kejahatan dengan sebenar-benarnya.”
            “Oke, sekarang mana bukti yang bisa kamu ajukan?”
            Aku terdiam sejenak dan berusaha memikirkan bukti yang bisa kuberikan. Ya Tuhan permudahkanlah urusanku.
            “Dokter, selama empat tahun kami kuliah, Arina Putri tidak pernah terlambat mengikuti perkuliahan kecuali hari ini. Apakah saya bisa menjadi buktinya.”
            Tari memberanikan diri membelaku.
            “Saya juga mau menjadikan diri sebagai buktinya”, ujar Riki, Toni, Gigi, dan Vivi
            “Saya membutuhkankan bukti yang nyata.”
            Tegas dokter Maya.
            Semua diam hingga pintu ruangan kembali terbuka dan kini seorang satpam masuk. Kedatangan satpam ini membuat teman-temanku dan dokter Deni tersenyum.
            “Dokter Maya, maaf kalau kedatangan saya menganggu. Saya hanya ingin menyerahkan surat keterangan menjadi saksi Nona Arina Putri dalam kasus pelecehan seksual terhadap pegawai bank pagi ini. Surat ini ditandatangani polisi yang mengangani kasus dan pegawai bank tersebut.”
            Pak Satpam benar-benar menjadi pahlawanku hari ini.
            “Kamu melakukan hal ini atas perintah siapa?”
            Dokter Maya bertanya curiga.
            “Saya yang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan Pak Turimin dokter.”
            Dokter Deni akhirnya berbicara.
            “Saya tidak bermaksud menentang dokter. Sampai saat ini saya masih menganggap dokter guru yang terbaik yang mengajarkan saya patu kepada peraturan. Oleh karena itu saya berbuat seperti ini. Memang pada awalnya mereka berlima yang mengingatkan saya tentang peraturan terakhir tersebut dan kemudian saya berinisiatif untuk mencari bukti yang kuat. Saya hanya akan bertindak sesuai peraturan dokter. Jika menurut dokter saya berbuat salah saya bersedia jika dokter melaporkan saya kepada pihak dekanat”, ujar dokter deni melanjutkan pernyataannya yang sangat berani.
            Kedaan benar-benar hening dan dokter Maya memperhatikan kami satu-persatu lalu berbicara keras “Kalian Hebat!!” sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Karena keberanian kalian menyatakan pendapat yang sesuai dengan peraturan, rasa persahabatan kalian yang selalu dijunjung tinggi, dan rasa kemanusiaan yang selalu berkorbar, saya bangga kepada kalian. Saya yakin kelak kalian menjadi dokter-dokter pilihan. Baiklah Nama Arina Putri akan tertulis dalam daftar Mahasiswa CoAs. Sekarang kalian antarkan pasien Asmara menuju ruangannya.” Dokter Maya kembali bertepuk tangan dan meninggalkan ruangan.
            Aku kemudian langsung memeluk teman-temanku dengan erat sekali.
            “Terima kasih teman. Terima kasih Dokter Deni dan terima kasih pak Turimin.”
            “Rin, inilah yang namanya persahabatan. Kamu tidak berterima kasih kepada dokter Maya yang akan menuliskan nama kamu?”
            Dokter Deni mengerlingkan matanya ke arahku. Lalu tanpa berpikir panjang aku keluar ruangan dan mengejar dokter Maya sementara temanku yang lain membawa Asmara ke ruangannya. Lalu aku spontan memeluk dokter maya dari belakang saat memasuki ruangannya.
            “Terima kasih dokter. Saya tidak akan membuat dokter kecewa.”
            “Kalau begitu silakan kamu buktikan dengan kasus pertama ini.”
           “Baiklah dokter, saya pasti akan melakukan yang terbaik.”
   ***************************************************************************************             
      Saat ini waktunya beristirahat setelah mengalami berbagai macam ketegangan. Aku berjalan mengelilingi rumah sakit. Rasanya lega sekali akhirnya bisa diterima di rumah sakit ini oleh dokter Maya. Tak ada pasien yang berada di taman, seperti yang sering aku lihat di TV. Namun, ada seorang pasien yang duduk di kursi keajaiban dan ternyata dia adalah asmara. Aku berjalan ke arahnya dan berdiri di sampignya.
            “Apakah saya boleh duduk di sebelah anda asmara?”
            Seperti biasa tak ada respons darinya.
            “Baiklah, kalau begitu saya akan duduk di atas rumput saja dalam jarak yang jauh.”
            Masih tak ada respons darinya. Lalu aku duduk saja dalam jarak satu meter darinya. Aku mulai berpikir cara agar dia mau berbicara. Lalu aku mendapatkan sebuah ide.
            “Asmara, aku lebih muda satu tahun darimu. Kalau begitu aku akan memanggilmu kakak. Aku tidak mempunyai seorang kakak dan aku dengar kamu juga tidak mempunyai keluarga berarti kamu tidak memiliki seorang adik. Apakah aku boleh memanggilmu kakak?”
            Lagi-lagi tak ada respons dari asmara. Lalu aku melanjutkan kalimat demi kalimat lainnya.
            “Aku hidup tanpa kasih sayang, Ibu meninggal saat aku berusia 5 tahun. dan Aku tidak memiliki ayah. Aku hidup bersama paman yang tak pernah memperhatikanku. Tetapi, hal itu tidak membuatku buta artinya cinta karena aku selalu membaca tulisanmu sejak kau sering menulis cerpen di majalah Bobo. Cerpen-cerpenmu membuatku bisa merasakan cinta dan kasih sayang orang tua. Setelah besar aku tak sendiri lagi karena aku memiliki teman-teman. Setiap mempunyai masalah aku berbagi dengan teman-temanku dan setelah itu perasaanku kembali normal seperti biasa. Apa kau mempunyai teman Asmara? Kamu harus menceritakan semua masalahmu kepadanya karena kamu dinantikan banyak orang. Kamu harus segera keluar dari tempat ini dan terus menulis sambil mendidik masyarakat dengan caramu. Aku dan teman-teman yang lain pasti akan membuatmu kembali mau berbicara. Aku akan menemukan temanmu agar kamu mau bercerita. Aku yakin kamu pati memiliki seorang teman tempat dimana kamu pasti akan selalu bercerita. Aku akan menemukannya. Tunggu aku menemukannya sebentar lagi.”
            Aku berbicara berupaya memasuki dunia asmara. Kulihat asmara masih tidak memberikan respons. Namun aku tidak kecewa, aku yakin setelah ini akan terjadi suatu perubahan. Bukankah dia duduk di kursi keajaiban atas keinginannya sendiri. Lalu kutinggalkan asmara dan aku yakin saat ini dia sedang menangis.
            Selepas dari berbicara dengan asmara aku menuju ruangan dokter maya untuk mengajak berdiskusi mengenai hal yang baru terjadi. Namun, kulihat dokter maya sedang terburu-buru pergi keluar dari ruangannya.
            “Dokter, anda mau kemana? Saya ingin berdiskusi sebentar.”
            “Saya ingin ke rumah Asmara untuk menemukan sesuatu yang bisa membantu. Apa yang mau kamu diskusikan?”
            “Kebetulan dokter, saya ingin mendiskusikan masalah Asmara. Bolehkah saya ikut dokter ke rumahnya?”
            “Baiklah, kebetulan dokter Deni mempunyai pasien baru yang harus ditangani.”
            Akhirnya aku dan dokter Maya pun pergi ke rumah Asmara yang ternyata masih dikelilingi garis kuning polisi. Kebetulan saat itu juga ada polisi di rumah Asmara. Rumahnya kecil dan sangat asri. Ada banyak novel-novel di rumahnya. Yang menarik lainnya adalah sebuah foto Asmara yang sepertinya tak sengaja diambil karena terlihat natural sekali. Di balik bingkai foto itu ada sebuah tulisan. Aku ingin menemuimu cintaku.
            “Dokter, ini ada sebuah foto yang selalu berada di tangan Asmara sampai kami memaksa mengambilnya.”
            Polisi itu menyerahkan sebuah foto kepada dokter Maya. Aku lihat foto wanita itu sangat mirip sekali dengan asmara. Mungkin itu foto ibunya. Pada meja kerja asmara tepat di sebelah notebook nya ada sebuah surat kabar 22 tahun yang lalu mengenai kasus tabrak lari seorang anak pengusaha terkenal bersama seorang istri dan anaknya. Diketahui bahwa anak pengusaha dan wanita tersebut meninggal dunia sementara anaknya yang selamat ditemukan oleh seorang pegawai panti asuhan yang terletak dari lokasi kejadian kecelakaan yang kemudian akhirnya diasuh di panti asuhan tersebut. Kasus tabrak lari tersebut dinyatakan perbuatan sengaja karena terdapat sebuah surat peringatan berisi Anakmu mati dan setelah itu kamu Memang beberapa minggu setelah peristiwa tersebut, pengusaha terkenal menjadi korban kasus pembunuhan. Begitulah cerita polisi mengenai surat kabar tersebut. Hal lain yang ditemukan adalah sebuah catatan alamat panti asuhan yang berada di dekat lokasi kecelakaan tempat anak yang selamat itu dibesarkan. Ketika hal ini ditanyakan, Pihak panti asuhan memberikan kesaksian bahwa Asmara mengunjungi panti asuhan tersebut pada sore tanggal 22 Agustus 2007, tepatnya satu hari sebelum kejadian. Yang lebih mengagetkan ternyata korban mengunjungi tempat itu terlebih dahulu tiga hari sebelumnya. Berdasarkan data yang ada, polisi menduga anak kecil yang menghilang itu adalah asmara yang kemudian dibesarkan di panti asuhan tersebut.  Namun, ada satu pertanyaan mengapa korban mengunjungi panti asuhan tersebut setelah 22 tahun berlalu dan menanyakan apakah asmara memiliki tahi lalat besar di ubun-ubunnya. Polisi akhirnya juga menduga korban mempunyai hubungan cinta dengan asmara apalagi belakangan terakhir pernah muncul gosip hubungan percintaan asmara dengan korban yang merupakan seorang photographer. Dalam menjalani hubungan cinta mungkin saja mereka akhirnya mengetahui bahwa ternyata mereka saling berkaitan di masa lalu dalam kasus kecelakaan yang menyebabkan asmara tumbuh menjadi yatim piatu. Lalu kasus percobaan pembunuhan merupakan upaya balas dendam Asmara yang mungkin saja menduga bahwa korban merupakan sang penabrak dalam kasus kecelakaan 22 tahun yang lalu tersebut. Semua ini masih sebatas asumsi sementara. Polisi masih ragu apakah seorang photographer juga bisa berpfrofesi menjadi seorang pembunuh dan apakah seorang penulis terkenal yang selalu menggunakan kata-kata bijak, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan selalu membela kaum tertindas mampu menghilangkan nyawa seseorang. Oleh karena itu, polisi benar-benar membutuhkan kesaksian dari asmara karena sepertinya kasus ini hanya mereka berdua yang bisa menjawab sementara korban masih dalam perawatan dokter dan belum sadar hingga saat ini. Berarti Foto yang mempunyai tulisan itu mungkin saja pemberian dari korban untuk Asmara. Ya Tuhan, aku baru kali ini merasa dokter juga bisa menjadi seorang detektif. Kulihat dokter Maya juga takjub dengan kasusnya kali ini. Aku lalu berusaha mencari tahu seseorang yang mungkin teman terdekat mereka. Namun, aku tak menemukan jawaban.
            “Dokter, mungkinkah satu-satunya teman asmara hanya korban?”
            Aku mengajak dokter maya untuk mendiskusikan sosok seorang teman yang mungkin bisa memberi penjelasan atau bisa membuat asmara berbicara.
            “Mungkin saja. Bukankah seorang teman sejati itu adalah orang terdekat kita yang selalu ada dalam kondisi apapun dan merupakan tempat terpercaya untuk bercerita ketika mempunyai masalah. Dan ketika mengetahui bahwa teman melakukan sesuatu yang membuat kita kecewa maka saya rasa membunuhpun tak jadi masalah.”
            Seorang terdekat dan terpercaya untuk bercerita bagi seorang penulis seperti asmara mungkinkah sebuah notebook. Bukankah seorang penulis selalu menulis setiap yang dia rasakan lalu merangkai setiap hal itu menjadi suatu bait-bait yang indah. Aku pun langsung beralih menuju meja letak notebook milik asmara yang tadi aku lihat berada di samping surat kabar. Aku menyuruh polisi untuk membukanya mencari mungkin saja dia menyimpan sebuah tulisan mengenai kasus ini. Tepat sekali dugaanku. Sebuah folder berjudul Rahasia Terbesarku. Lalu polisi membuka folder tersebut dan ada sebuah karangan yang aku yakin berhubungan dengan kasus ini. Lalu aku mengajak dokter maya melihatnya dan menyuruh seorang polisi untuk membacakan tulisan itu dengan keras.

Kebahagiaan Bersamamu yang Akan Segera Berakhir
          Aku masih ingat saat pertama kali bertemu denganmu. Siang itu aku ingin sekali berjalan-jalan mencari inspirasi untuk menulis novel yang terbaru. Saat berjalan, aku memikirkan tentang kisah cinta sejati dua sejoli yang mungkin saja melebihi kisah Rome dan Juliet. Lalu saat berada dalam lamunanku aku tersentak menyadari wajahku ternyata tak sengaja terpotret dalam kameramu. Saat itu tak ada kata lain yang bisa aku ucapkan selain permintaan maaf karena telah menggangu pekerjaanmu. Ku lihat wajahmu saat itu yang sama sekali tak memarahiku dan aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda di dada. Kau hanya tersenyum dan mempersilakanku untuk berjalan kembali. Saat itu rasanya aku ingin mengenal dan berbicara denganmu lebih dekat.
          Beberapa hari setelah kejadian itu, tasku dijambret oleh para preman di sebuah tempat umum. Aku sangat sedih atas kehilangan tersebut karena tas itu berisi sebuah notebook yang merupakan sahabat sejatiku. Aku seperti kehilangan jati diri untuk pertama kalinya. Lalu tiba-tiba seseorang mennghubungiku bahwa tas dan notebookku telah diselamatkannya dan saat itu ada bersamanya. Aku pun mendatangi alamat kantor yang diberikan oleh si penelepon. Ternyata penelepon itu adalah kamu yang telah menjadi inspirasiku menulis kisah cinta sejati sejak pertemuan yang lalu. Aku sangat senang sekali terutama ketika melihat fotoku telah terbingkai dengan indah di atas meja kerjamu dan bertuliskan Aku akan menemuimu cintaku.  Kemudian kita menjadi teman yang saling mengisi. Aku pun mulai merasa seperti seorang Cinderella yang bertemu dengan pangerannya.
          Kebahagiaanku memuncak sebulan kemudian saat kamu melamarku dengan seratus bunga mawar yang kamu bawa. Tak ada alasanku untuk menolakmu. Aku menerimamu sepenuh jiwaku. Lalu keesokan harinya kita menikah untuk menghalalkan hubungan kita. Aku serahkan seluruh jiwa dan ragaku pada malam pertama kita yang tak mungkin bisa kulupakan hingga akhir masa. Kamu adalah laki-laki pertama bagiku. Aku sangat mencintaimu walaupun usia kita berjarak lima belas tahun. Namun, semua kebahagiaan itu berubah setelah kamu melakukan semuanya dan menyakan kepadaku mengenai tahi lalat yang telah ada di ubun-ubun kepala ini sejak lahir. Sejak saat itu kau terlihat menjauh dariku dan tak pernah lagi menatap wajahku apalagi menyentuhku. Bahkan kau tidak pernah lagi berada di rumah. Aku selalu bertanya pada diri sendiri apa salahku. Mungkinkah aku bukan seorang istri yang baik yang tak bisa memenuhi segala kewajibannya. Namun aku telah memberikan diriku seutuhnya kepadamu pada malam itu. Hingga penantianku pun berakhir bahagia saat pagi itu kau datang kembali kepadaku dan kali ini memberikan seratus boneka. Kau mencium dahiku dengan penuh kasih sayang. Kau belai setiap helaian rambutku dan menatapku begitu dalam. Kau menanyakan apakah masa laluku bahagia. Aku pun menjawab tiada masa yang lebih indah dibandingkan setelah aku bertemu denganmu. Lalu kau masakakkan aku makanan yang begitu lezat dan menyuapiku seperti biasanya. Hari itu aku berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengembalikanmu. Siang harinya, ketika kau tertidur dengan pulas, aku tak sengaja menemukan sebuah surat kabar 22 tahun yang lalu dan sebuah alamat panti asuhan tempat aku dibesarkan. Hatiku pun menjadi penuh curiga dan kemudian aku selidiki semua kemungkinan. Kecurigaanku semakin bertambah sejak aku berusaha bertanya tentang masa lalumu, kau selalu mengelak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lagi-lagi kau meninggalkanku entah kemana.
 Rasanya aku ingin berteriak saat mengetahui kebenaran mungkin kaulah pembunuh ayah dan ibuku, saat kau kirimkan aku sebuah surat yang berisi Maafkan aku, seandainya saja kecelakaan 22 tahun lalu itu tidak terjadi mungkin saja kita akan bahagia bersama hingga akhir masa. Aku ingin sekali menemuimu dan menanyakan semua kenyataan yang ada. Jika memang benar kau penyebab kebahagiaan masa kecilku hilang,  terpikirkan sekilas untuk membalas dendam kepadamu, tetapi aku rasa itu tidak mungkin karena aku terlalu mencintaimu. Kemana aku harus mencarimu. Mungkinkah Hari ini Aku harus meyakinkan diri bahwa Seratus mawar yang telah kau berikan kini telah menjadi duri dan kebahagiaanku bersamamu akan segera berakhir.

22 Agustus 2007

       “Sekian, tulisan ini tepat sehari sebelum kejadian dan setelah menulis kisah ini berarti Asmara mengunjungi panti asuhan tersebut dan menemukan fakta bahwa ternyata suaminya juga mengunjungi panti asuhan tersebut tiga hari yang lalu yang menanyakan mengenai tahi lalat yang berada di ubun-ubun kepalanya.”

            Polisi itu mengakhiri ceritanya. Aku bisa merasakan jatuhnya air mataku sejak awal polisi tersebut membacakan tulisan asmara. Mungkinkah asmara orang yang mengajarkanku arti cinta dan kasih sayang tega melakukan perbuatan serendah itu. Walaupun korban telah membunuh kedua orangtuanya, patutkah asmara melakukan hal serupa. Kalau begitu tidak ada bedanya antara Asmara dengan laki-laki itu. Semoga saja korban segera sadar dan mungkin saja akan membela asmara sehingga hukumannya tidak akan terlalu berat. Aku tak mau tulisan-tulisan asmara mati begitu saja.
 *******************************************************************************************
            Setelah mengetahui semua fakta yang ada kami pun menuju rumah sakit untuk meminta kesaksian dari asmara mengenai bukti yang didapat. Aku sangat yakin kali ini polisi akan memaksa keras jika asmara masih belum mau memberikan kesaksian. Sesampainya kami di rumah sakit, polisi mengungkapkan setiap fakta kepada Asmara yang membuat asmara begitu kaget. Tak hanya Asmara, dokter Deni dan kelima temankupun begitu kaget, terutama Riki yang sangat mengidolakannya.
            “Asmara, mengapa kau melakukan hal tersebut!!! Aku terlanjur mengidolakanmu dan stulus hati menyukaimu.”
            Raung Riki yang kembali menagis tersedu-sedu lalu dokter Deni menjelit ke arahnya. Sementara Gigi, Vivi, dan Toni seperti biasa menenangkannya.
            “Sama seperti Riki yang kecewa karena terlanjur megidolakanku, aku juga sangat menderita karena terlanjur mencintainya. Kalian belum mengetahui keseluruhan cerita yang sebenarnya malam itu. Aku tak pernah berniat sama sekali untuk membunuh orang yang paling aku cintai itu. Justru aku berniat untuk memaafkannya asalkan ia mau kembali kepadaku seperti dulu lagi yang selalu memanjakanku. Kecuali jika dia tidak mau lagi berbuat seperti itu maka mungkin aku akan membunuhnya malam itu.”
            Pada akhirnya Asmara membuka mulutnya dan berbicara kepada kami semua.
            “lalu, ternyata kamu malam itu membunuhnya. Apakah dia menolakmu?’
            Polisi kemudian melanjutkan pertanyaan.
            “Tidak dia tidak menolakku. Aku melakukan itu semua untuk menyelamatkannya. Malam itu akhirnya aku mengetahui dimana suamiku menginap selama ini sejak malam pertama kami berakhir yang merupakan satu-satunya malam kami tidur bersama setelah pernikahan. Aku mengetahui suamiku menginap di sebuah hotel. Malam itu aku berniat menyusulnya dan meminta pengakuan darinya mengenai kecelakaan 22 tahun yang lalu. Sperti yang telah aku katakan, aku akan memaafkannya walaupun fakta itu benar asalkan dia mau kembali bersamaku. Malam itu, aku memang membawa sebuah pistol untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi sekali lagi kutekankan pistol itu bukan untuk membunuhnya. Saat aku memasuki kamar, aku melihat suamiku hendak melakukan upaya bunuh diri dengan sebuah pistol di kepalanya. Sebelum hal yang buruk terjad, akupun menembak daerah punggung dan kakinya. Aku yakin hal itu tidak akan mematikannya. Lalu aku mendekatinya dan betapa terkejutnya aku melihat sebuah kertas yang berada di hadapannya. Lalu dia berkata hal yang mebuatku benar-benar gila.
            Sayangku, maafkan aku. Pada saat kecelakaan 22 tahun yang lalu aku sama sekali tidak meninggal, aku masih hidup. Orang yang dikubur jasadnya itu adalah orang lain dan bukan ayahmu. Aku sangat mencintai ibumu dan kamu. Ini adalah foto ibumu. Dia sangat mirip sekali denganmu bukan? Dia juga memiliki sebuah tahi lalat di ubun-ubun kepalanya. Aku menikahinya saat kami berusia 15 tahun. Sebuah hubungan yang dimulai dengan suatu kesalahan akan berakhir sia-sia,  begitu juga dengan hubungan kita. Maafkan aku, semoga kau kelak menemukan laki-laki yang tepat yang bisa mencintaimu hingga akhir masa. Ini adalah kertas uji DNA antara kau dan aku dan hasilnya menyatakan bahwa kau benar anak kandungku. Asmara, Ayah sangat menyayangimu.
            Pengakuan panjang itu ia katakan dengan kalimat yang terputus-putus di setiap hela nafasnya. Malam itu, aku benar-benar hancur. Suamiku mengatakan begitu ia menyayangiku sebagai seorang ayah. Aku mencitai ayahku sendiri dan aku telah tidur bersamanya. Aku tak sanggup jika orang lain mengetahui fakta ini maka aku menelan kertas hasil tes uji DNA tersebut. Lalu polisi datang dan menagkapku. Akupun berjanji untuk menutup mulutku dan berpura-pura menjadi gila agar nantinya ketika ayahku sadar, mungkin kami tak akan begitu menderita karena hidup dalam dunia yang terpisah.”
            Begitulah akhir dari pengakuan Asmara. Lagi-lagi kami mengetahui fakta yang mengagetkan. Kulihat Riki segera memeluk asmara dan kali ini tidak ada yang menghalangi tindakannya.
            “Asmara, Kamu tidak boleh gila. Aku sangat menyukai tulisanmu. Aku mohon jangan jadi gila apalagi dihadapanku.”
            Pernyataan Riki membuat suasana semakin mengharu. Semua orang yang mendengarkan kisah asmara meneskan air mata kecuali kedua polisi dan dokter Maya tentunya.
            “Asmara, bukankah ku bilang jika kau mempunyai masalah ceritakanlah kepada temanmu maka perasaan mu akan kembali seperti biasa. Kau bisa menceritakan semua di notebook mu seperti tulisanmu sebelumnya. Riki benar jangan pernah berusaha menjadi gila karena ada banyak orang yang masih membutuhkanmu. Bukankah kau orang yang mengajariku arti cinta dan kasih sayang hingga aku bisa menjadi seorang mahasiawa kedokteran seperti saat ini.”
            Aku pun berusaha meyakinkan begitu berharganya diri Asmara dan tulisannya. Lalu seorang polisi memberikan kabar bahwa baru saja dia ditelpon dari rumah sakit pusat bahwa ayah Asmara sudah sadar. Kulihat asmara menghela nafasnya. Mungkin ia masih takut membayangkan apa yang terjadi jika ia bertemu dengan ayahnya.
“Lalu, apa rencanamu terhadap ayahmu asmara?”
Dokter Maya langsung mempertanyakan hal yang pasti menjadi pertanyaan semua orang.
“Aku akan membina hubungan kami lagi dari awal dan membiasakan diri memanggilnya ayah. Dan mungkin setelah itu aku akan mencarikannya pengganti ibu dan meyuruhnya mencarikan laki-laki baru untukku”, ujar Asmara sambil tertawa.
“Baguslah kalau kau telah mengetahui langkah kehidupanmu selanjutnya.”
Ujar dokter Maya penuh kelegaan.
Asmara pun diantar kedua polisi menuju rumah sakit pusat untuk menemui ayahnya yang baru saja sadar. Sungguh hari ini memberikanku banyak pelajaran tentang hidup. Jam sudah menujukkan pukul 20.30 WIB. Semua orang terlihat bahagia sudah melakukan tugas terbaik hari ini. Terutama Riki yang telah mengungkapkan perasaan sukanya pada asmara. Sebelum asmara meninggalkan rumah sakit ia berkata
“Di rumah sakit ini aku menemukan cinta, kasih sayang dalam sebuah keberanian dan persahabatan yang luar biasa. Kalian telah menginspirasiku hari ini. Terima kasih kepada kalian semua sahabat.”
Iya, sampai kapanpun Cinta dan kasih sayang merupakan dasar dari setiap kehidupan. Kini tugaku berikutnya adalah pulang dan perlahan-lahan akan mengembalikan paman menjadi seperti dulu lagi dan mungkin setelah itu paman akan mulai memperhatikanku. Aku rasa semua perempuan yang aku kenal hari ini bukanlah para perempuan pelukis perasaan.




*: CoAs (Co assissten) dokter, merupakan seorang mahasiswa kedokteran yang sudah melewati kuliah teori selama empat tahun dan saatnya mempraktekkan langsung semua teori tersebut selama dua tahun dalam setiap bagian ilmu penyakit. Setelah itu barulah mereka bisa dilantik menjadi seorang dokter dengan mengucapkan sumpah dokter. Namun zaman sekarang, dengan menggunakan sistem KBK, kuliah teori dipersingkat menjadi 3,5 tahun sementara CoAs hanya berlangsung 1,5 tahun.
** Gluteus Maksimus merupakan daerad otot yang paling mencolok membentuk daerah permukanan bokong dan hamper menutupi semua otot lain dalam kelompok ini.
***Denyut nadi 120x/menit merupakan denyut nadi yang cepat bisa diakibatkan kebutuhan oksigen yang meningkat seperti dalam olahraga. Kisaran normal denyut nadi orang dewasa 60 – 100 x / menit, Denyut nadi biasa diukur dengan menggunakan tiga jari di daerah nadi pergelangan tangan dan daerah leher.
****Kompos mentis merupakan istilah kedokteran untuk menyatakan kondisi seseorang itu dalam keadaan sadar terhadap dirinya dan lingkungan sekitar. Sedangkan compos mentis terganggua digunakan bagi pasien yang diduga menderita gangguan jiwa.
*****maingering merupakan salah satu tindakan abnormal yang dilakukan dengan sengaja dan mempunyai motif tertentu, contohnya sering terjadi dalam proses hokum.
****** MMPI-2 merupakan singkatan dari Minnesota Multiphasic Personality Inventory merupakan cara untuk mengevaluasi psikometri dengan berbagai rangkaian skala dan dapat digunakan untuk mendeteksi dini perbuatan malingering
******* Amitriptyline merupakan salah satu obat antidepresan yang digunakan untuk pasien yang mengalami depresi

Karena aku bukan perempuan pelukis perasaan 4: Surat untuk Salman Alfarisi

Untuk: Salman Alfarisi

            Seandainya aku berusaha sungguh-sungguh mulai dari awal lagi untuk menjadi wanita yang sebaik-baiknya, apakah kau bisa menyukaiku? Apakah cinta seorang laki-laki itu bisa berubah?
            Aku tidak tahu bagaimana caranya mendekati laki-laki karena aku bukanlah seorang wanita  yang menarik, aku bukan seorang wanita  yang bisa memberi perhatian setiap hari, dan aku juga bukan wanita yang mengerti menjalankan prinsip jinak-jinak merpati. Melainkan aku hanya seorang wanita yang selalu mencintai kamu, selau mendoakan kebahagiaan untukmu, dan dengan senang hati selalu setia menunggu cintamu.
            Saat ini wajahmu bagaikan imajinasi di benakku, tetapi namamu begitu kuat telah melekat di diriku. Aku masih ingat warna kesukaanmu adalah biru dan makanan kesukaanmu adalah Mie Ayam. Kamu yang pelajaran olahraganya adalah hari Kamis dan pelajaran itu dipotong oleh jam istirahat membuat aku selalu bisa memerhatikanmu berolahraga. Kalau kamu sakit kamu tidak pernah makan obat, cukup makan mie yang panas maka penyakitmu akan sembuh. Kamu tidak pernah beraktivitas di luar setiap jam 11.00-14.00 karena suhu sangat panas sehingga kulitmu bisa hitam. Kamu adalah anak bungsu dari lima bersaudara, kakak perempuan tertuamu lahir tahun 1969 dan keponakan pertamamu lahir pada tahun yang sama denganku. Matamu yang tajam bagaikan mata Elang, Hidungmu yang sangat mancung, wajahmu yang lonjong, bahkan tanggal lahirmu yang ada dua antara 24 Mei ataupun 24 September pun aku ingat. Aku masih ingat dengan baik semua tentangmu. Jika harus ditulis, seribu halamanpun bisa kurangkai kata-kata tentangmu dengan begitu indah. Karena kamu adalah istemewa sehingga aku akan selalu mengingat hal yang aku tahu tentang kamu dengan sangat baik.
            Kak Salman, Ada 54.000 orang lebih yang bernama Salman Alfarisi, tetapi kau tidak ada diantara mereka. Oleh sebab itu, tolong bacalah suratku dan pahamilah.
            Kak Salman, Kali ini lihatlah aku sebagai seorang wanita yang berusaha menjadi yang terbaik untuk orang yang dicintainya. Seandainya cinta laki-laki itu bisa berubah, bisakah kakak memberikanku kesempatan? Bisakah kamu memberiku kesempatan menjadi wanita terbaik untuk orang yang aku cintai dan bisa memberikan kesan baik kepadamu. Mungkin saat ini, kamu telah mencintai orang lain, tetapi bisakah kakak juga melihat bahwa ada wanita lain yang menyukai dan selalu dan akan terus berusaha menjadi yang terbaik untuk kakak. Kak Salman Alfarisi, yang sangat aku sukai dalam diamku, sangat berterima kasih jika kakak bisa memahami perasaanku. Tunggulah aku, saat ini aku adalah seorang wanita yang akan terus tumbuh dalam musim kering dan ketika musim semi telah tiba maka aku akan datang kepadamu. Saat itu aku telah menjadi wanita terbaik untukmu.
            Kakak, aku tidak akan mungkin mempunyai keberanian mengatakan ini langsung kepadamu. Kakak, untuk melihat wajahmu saja aku tidak akan sanggup apalagi jika harus berbicara kepadamu. Semoga Tuhan benar-benar akan mempertemukan aku padamu dan memberikanku kesempatan untuk menjadi wanita terbaik untuk orang yang dicintainya suatu saat nanti.
            Kakak, ketahuilah bahwa aku menyukaimu bukan karena kakak adalah laki-laki yang sebaik-baiknya, melainkan karena ada sesuatu pada diri kakak yang aku sendiri tidak tahu apa yang membuatku suka. Kakak bisa mengetahui perasaanku saja sungguh sangat berterima kasih. Seandainya aku berusaha sungguh-sungguh mulai dari awal lagi untuk menjadi wanita yang sebaik-baiknya, apakah kakak akan menyukaiku? Apakah cinta seorang laki-laki itu bisa berubah?


Dari: Seorang wanita yang sangat menyukai Kak Salman Alfarisi

Program perdana FKR "Karena aku bukan perempuan pelukis perasaan" Episode Tiga: Kertas Mimpi di bawah Pohon Revolusi

Hai, namaku renita Desmian, dan ini merupakan tempat favoritku, pohon Revolusi. Pohon ini memiliki arti penting karena di bawah pohon inilah aku selalu mengucapkan mimpi-mimpi yang harus dicapai, lalu menulisnya pada sebuah kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kotak agar ditanam di bawah pohon. Setelah mimpi tercapai, aku akan mengambil kembali kertas tersebut untuk disimpan dalam sebuah buku keberhasilan. Semua ini kulakukan berdasarkan teori-teori tumbuhnya pohon yang besar dan kokoh berasal dari bibit kecil yang diragukan. Ya, aku memang terlalu bodoh menganalogikan dua hal yang tidak mungkin akan pernah berhubungan, tetapi aku selalu menyiram tanah pembungkus kertas mimpi kehidupanku sampai dia tumbuh dan menjadi kenyataan. Tak ada kertas lain dalam kotak ini karena sejak tamat SMA aku tak mempunyai mimpi apa-apa selain memiliki pekerjaan dan itu telah terwujud empat tahun yang lalu tanpa sempat menanam kertas mimpi sebelumnya. Selama empat tahun itu pula aku tak pernah mengunjungi pohon ini, tak pernah lagi berteduh di bawah pohon ini. Aku hanya memandang saja dari kejauhan jika aku merindukannya.
         Pagi  ini, waktunya aku menanam kembali sebuah kertas mimpi yang telah aku tulis dari semalam. Kuambil nafas dalam-dalam dan menghembusnya dengan kuat. Aku ragu dengan apa yang kulakukan. Sejak peristiwa memalukan tujuh tahun yang lalu, rasanya tidak ingin lagi menginjak tempat ini. Aku masih ingat kejadian tujuh tahun yang lalu, di bawah pohon revolusi ini, aku menangisi sebuah mimi yang fana. Satu-satunya mimpi yang selalu aku rawat selama tiga tahun dan hari itu terjawab dengan sia-sia. Mimpi tentang sebuah cinta yang selalu hadir bahkan pada titik nadir kehidupanku. Cinta yang selalu membantu setiap aku mendapat masalah. Cinta yang selalu membelaku setiap kali mereka menghina ayah dan ibu, dan cinta yang tak pernah memanggilku si kribo. Tetapi siang itu, cinta itu telah melukai hatiku hingga menembus titik terkecil yang selama ini belum terjamah. Siang itu, aku merobek semua mimpi-mimpiku temasuk sebuah mimpi yang rencananya hari itu akan aku tanam.
“Mian….. kenapa kamu merobek semuanya.”
Aku diam saja dan terus merobek kertas mimpi hingga mencapai bagian terkecil yang tak bisa dipegang dan dengan sendirinya jatuh ke tanah.
“Jemi, aku mau kamu pergi saja. Mulai hari ini kamu tidak berarti apa-apa lagi bagiku.”
“Mian, sungguh semuanya bukan karena ayahmu seorang koruptor dan bukan karena kamu berambut kribo!”
“Jemi…ini pertama kalinya kamu mengucapkan kata kribo jem….”
Aku berlari meninggalkan Jemi.
Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengan Jemi, hari pertama aku duduk di bangku SMA. Hari itu, Semua teman-teman melirikku sinis dan tak ada yang mau aku ajak untuk berkenalan, bahkan teman satu SMP pun  ikut menjahuiku. Tak ada yang mau duduk disebelahku saat di kelas. Waktu istirahat pun aku habiskan sendirian dengan memesan Mie Ayam.
      “Hahahahaha, Teman-teman Perhatian!!!!” ujar siska yang selalu satu sekolah denganku sejak SD. “Lihat Mian memesan Mie Ayam, pantasan saja rambutnya kribo!!! Bik, jangan terima uang dari dia, itu uang haram dari seorang anak koruptor!!!”
Siska benar-benar kejam, bukannya membela dan mengayomiku, dia malah menghina aku dan keluarga. Aku hanya diam dan berusaha tidak menghiraukan kata-katanya.
        “Mian, aku dengar ibumu masuk rumah sakit jiwa ya karena gila!! Makan uang haram siy!!! Teman-teman jangan pernah mau berteman dengan Kribo jelek jika kalian ingin tentram di sekolah ini!!”
Siska kembali berteriak keras
       “WawWw!!! Komplit sekali penderitaanmu kribo!!”
Teriak teman-teman geng Siska, Geng The Cutest.
Aku sangat yakin sejak peristiwa itu tak akan ada yang mau menjadi temanku karena siska merupakan anak pemilik SMA yang berarti penguasa di sekolah ini.  Lagipula Siapa yang mau berteman dengan seorang kribo anak koruptor dan seorang ibu yang gila. Tapi ternyata dugaanku salah. Seorang siswa laki-laki datang dan duduk di sebelahku. Dia laki-laki yang sangat sederhana, baik dari penampilan maupun tutur bahasanya.
“Hai, namaku Jemi, senang berkenalan dan berteman denganmu.”
“Aku Mian”, ujarku tersenyum.
Sejak saat pertama kali berkenalan, Jemi satu-satunya teman terdekatku dan merupakan cinta impianku. Dia yang menerimaku apa adanya. Predikat murid terbodoh pun tidak membuatnya menjahuiku. Dia seorag yatim dan ibunya hanyalah seorang penjual kue, tetapi dia memiliki semangat dan kepercayaan diri yang tinggi hingga ia terpilih menjadi ketua OSIS di sekolah kami. Mungkin jika aku tidak berteman dengan Jemi, aku sudah keluar atau menjadi satu kelompok dengan Oliv, Lili, dan Bunga yang merupakan warga tertindas di sekolah. Karena itulah, aku tak pernah berani mengutarakan perasaanku padanya karena aku takut setelah itu Jemi meninggalkanku dan aku tak akan pernah mempunyai seorang teman lagi.
Aku masih ingat, saat ibu Jemi sakit, kami bolos sekolah dan berjualan kue menggantikan pekerjaan ibu. Sebuah masalah terjadi, hari itu hujan sangat deras hingga aku terjatuh saat kami  berlari untuk segera berteduh. Kue-kue yang masih banyak pun jatuh berserakan. Aku kemudian menangis dan terduduk di bawah hujan.
“Mian, apa ada yang terluka?”
            “Jemi, maafkan aku. Semua kue menjadi kotor”, ujarku dengan sangat menyesal.
            “Tidak apa-apa, mungkin ini rezeki untuk mahluk Allah lainnya.”
            “Maksud kamu?”
            “Ya, tidak ada yang sia-sia. Kue yang terbuang dengan tidak sengaja pun masih bisa menjadi makanan bagi kucing, anjing, bahkan semut sekalipun. Mari sekarang kita kumpulkan menjadi satu lalu kita taruh di dekat tempat sampah.”
            “Jemi, kamu lupa satu hal penting. Pemulung dan orang gila  juga sering mengorek-ngorek tempat sampah”, ujarku sambil tersenyum.
            “Ya, benar sekali Mian, mungkin ini juga rezeki untuk mereka”, ujar jemi mencubit pipiku.
Setelah hujan reda pun kami mengamen di jalanan. Setidaknya kami harus mendapatkan uang walaupun sedikit sehingga perjuangan kami membolos tidak akan sia-sia.
            “Jemi, apakah kau mau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku”, ujarku.
            “Bagaimana denganmu Mian?”
            “Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu Jemi karena kau satu-satunya temanku. Aku tak bisa hidup bahagia tanpamu.”
            “Kalau begitu aku tidak akan meninggalkanmu karena aku ingin kamu selamanya bahagia.”
            Demikianlah persahabatanku dengan Jemi tidak pernah diliputi pertengkaran. Hingga persahabatanku dengan Jemi berakhir siang itu setelah sebuah surat dan kenyataan pahit yang terungkap. Siang di hari perpisahan sekolah kami. Siang itu, Siska kembali membuat sebuah pengumuman di hadapan seluruh teman-temanku.
            “Teman-teman perhatian!!! Aku punya sebuah pengumuman. Beberapa hari yang lalu aku menemukan sebuah buku harian milik salah seorang teman kita yang bernama Renita Desmian. Dan di dalamnya ada sebuah catatan perasaannya kepada sahabatnya sendiri, Jemi. Sekarang aku bacakan tulisannya.
             
Jemi sahabatku, maafkan aku telah membohongimu hingga detik ini Karena aku terlalu mencintaimu Jemi.  Maaf,  Aku terlalu mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.

Mian, kamu seorang pengkhianat karena telah membohongi sahabatmu sendiri!”
            Siska berteriak memojokkanku. Semua pandangan tersorot kepadaku, termasuk Jemi yang tawanya berubah menjadi begitu dingin yang membuatku tertunduk malu.
            “Mian, ada satu pengumuman lagi untukumu. Mulai hari ini kamu jangan pernah bersama Jemi karena Jemi adalah pacarku. Apa Jemi belum memberitahukanmu kalau kami sudah berpacaran selama tiga bulan! Jelas saja Jemi lebih memilihku daripada kamu. Walaupun kamu sahabatnya, tetap saja kamu anak seorang narapidana koruptor berambut kribo dan kamu selalu mendapat peringkat terakhir di kelas.”
            Siska terlihat puas sekali siang itu menertawakanku. Aku beranikan diri menatap Jemi dengan mata yang telah basah. Aku tak percaya Jemi akhirnya menyakiti hatiku. Bahkan seandainya dia menolakku, aku tidak akan terluka seperti ini asalkan perempuan itu buan Siska dan dia tidak merahasiakannya dariku. Aku berlari sekuat-kuatnya menuju pohon revolusi dan merobek semua kertas mimpiku. Jemi yang kukenal saat pertama kali duduk di bangku SMA dan Jemi yang aku lupakan saat mengakhiri bangku SMA. Siang itu,  Aku berlari sekuat dan secepat mungkin untuk menemui ayahku yang dipenjara akibat kasus korupsi yang ia lakukan bersama rekannya. Walaupun ayah seorang koruptor, aku tidak pernah membencinya dan melupakannya. Tak ada kelurga lain yang aku punya selain ayah, tepatnya keluarga yang nyata. Aku mempunyai seorang ibu, tetapi sejak ayah dipenjara ia juga pergi meninggalkanku menuju dunianya. Sebuah dunia yang tak bisa aku mengerti. Ibuku mengalami ganguan jiwa dan hingga saat ini masih dirawat di rumah sakit jiwa. Kata dokter mungkin ibu bisa sembuh jika bertemu dengan ayah karena setiap saat ibu selalu menyebut nama ayah. Hal itu sangat menyakitiku karena ayah diberi sanksi pidana selama sepuluh tahun penjara.
            “Mian….. Tunggu aku!!!!”
            Saat itu aku masih bisa mendengar jeritan Jemi memanggil namaku. Namun aku sama sekali tak menghiraukannya hingga aku terus berlari dan tiba-tiba sebuah mobil menabrakku dan aku koma selama tiga hari. Jemi tak berada di sampingku saat aku sadar dan berarti sejak siang itu aku tidak pernah lagi melihat wajah jemi. Mungkin saja saat ini,  ia sudah melupakanku dan bahagia bersama Siska.  Aku tanam kertas mimpi ini lalu kemudian menimbunnya. Kertas mimpi yang berisikan impianku untuk segera manemukan seorang pangeran yang datang menjemput melamarku dan menikahiku. Mungkin dengan begitu aku tidak harus bekerja dan bisa merawat ibu di rumah sambil setiap hari menjenguk ayah di penjara. Tiba-tiba sebuah suara yang sangat aku kenal memanggil namaku.
            “Mian……”
            Aku pun berbalik dan betapa terkejutnya aku melihat sosok siska berdiri di hadapanku sejak peristiwa tujuh tahun yang lalu.
            “Siska, sudah lama tak jumpa, apa kabar?”
            Entah kenapa aku menyambutnya dengan sangat ramah seolah melupakan kejadian masa lalu yang begitu menyakitkan.
            “Baik, kau sendiri bagaimana Mian?”
            “Aku juga baik siska. Bagaimana kau tahu aku ada di sini? “
            “Aku tadi hanya lewat tiba-tiba saja melihatmu. Sudah lama sekali sejak hari itu. Aku jadi ingin sekali berbicara denganmu banyak hal. Apakah hari ini kamu sibuk Mian?”
            “Sama sekali tidak Siska.”
            Aku pun tersenyum hangat. Entah itu merupakan sebuah senyuman tulus untuk seorang teman lama atau hanya sekedar untuk berbasa-basi.
            “Kalau begitu mari main ke rumahku. Apa kau mau?”
            “ummm, baiklah.”
            Aku hanya berpikir mungkin dengan aku ke rumah Siska aku bisa melihat kebahagiaan Jemi bersama Siska. Atau setidaknya aku kembali melihat Jemi sejak kejadian siang itu. Siska ternyata telah menjadi seorang istri pengusaha terkenal. Dandanannya saja sudah berubah menjadi begitu mewah dan elegan. Mungkinkah pengusaha itu adalah Jemi. Aku hanya diam dan sabar hingga aku melihat sendiri di rumahnya nanti.
            Rumah Siska begitu besar dengan sebuah halaman yang sangat luas dan indah. Ketika aku memasuki rumahnya aku melihat sebuah bingkai foto pernikahan dan aku tidak melihat wajah Jemi di foto tersebut. Berarti hubungannya dengan Jemi telah berakhir. Aku merasa sangat senang sekali mengetahui hal ini.
            “Siska, kau beruntung sekali mendapatkan suami yang sangat mapan seperti ini.”
            “Mian, tentu tidak lebih bahagia dibandingkan kau bersama Jemi.”
            Kata-kata Siska menaikkan emosiku.
            “Bersama Jemi! Bukankah kau yang telah mendapatkan jemi! Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak siang itu siska!”
            “Benarkah!! Aku juga tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak siang itu. Mian, sebenarnya Jemi tidak menyukaiku. Dia berpacaran denganku untuk melindungimu mian.  Nilai-nilaimu sangat jelek dan itu bisa membuatmu terancam tidak lulus. Jemi megetahui hal itu karena ia mendengar pembicaraanku dengan ayah. Lalu aku pun memanfaatkan hal tersebut dengan memintanya menjadi pacarku dan ayahku akan membuat nilai akhirmu bagus dan bisa lulus sekolah. Tapi kami tidak pernah main bersama, dia terlalu sibuk mengajarimu dan itu membuatku semakin kesal kepadamu mian hingga aku menemukan buku harianmu. Siang itu hubungan kami berakhir dan aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku benar-benar menyesal selalu menjahilimu di masa lalu Mian.”
            Pengakuan Siska membuat hatiku hancur. Jemi tak pernah mengkhianati persahabatan kami dan seharusnya aku meyakininya dari dulu. Timbul sebersit penyesalan. Sekarang kemana aku harus mencari Jemi dan minta maaf kepadanya. Atau mungkin justru Jemi telah melupakanku dan mempunyai dunia yang baru.
            “Mian, aku kemarin membeli lukisan seorang wanita yang mirip sekali denganmu dan aku lihat nama pelukis di bawahnya adalah Jemi Rianda. Karena itu, aku kira kamu dan Jemi telah bahagia bersama. Tunggu sebentar aku mengambil lukisan tersebut.”
            Betapa terkejutnya aku saat melihat lukisan yang dimaksud Siska. Lukisan itu adalah aku yang sedang menyirami gundukan tanah di bawah pohon revolusi. Mungkinkah Jemi masih mengingatku atau mungkin ada Jemi Rianda lain di kehidupan ini yang mempunyai imajinasi luar biasa dan melukis wajah yang sama denganku.
            “Siska, apakah kau bisa membantuku menemukan Jemi. AKu ingin sekali bertemu dan minta maaf dengannya. Siska…aku mohon..”
            Ini pertama kalinya aku meminta bantuan kepada Siska. Lalu kami pun bertanya kepada penjaga galeri mengenai keberadaan Jemi Rianda.
            “Nona Mian. Kami sebenarnya juga tidak mengetahui Jemi Rianda karena selalu asistennya yang mengirim lukisan-lukisannya ke galeri kami. Tetapi kami mempunyai alamat sekolah milik Jemi dan dia tinggal di sekolah tersebut. “
            Tanpa berpikir panjang akupun menarik Siska dan mengajaknya menemui alamat yang diberikan oleh penjaga galeri. Ternyata sekolah yang dimaksud adalah sekolah TK yang bernama TK Renita Desmian. Siang itu di TK tersebut dipenuhi oleh anak-anak yang tengah bermain. Mereka bermain dengan riang sekali. Tiba-tiba sebuah bola bergulir ke arahku.
            “Tante, apakah tante yang wajahnya ada di lukisan halaman belakang?”
            “Mungkin saja, Baiklah mari tante lihat ya anak manis.. ini bolamu sayang.”
            Lalu aku dan siska pun menuju halaman belakang untuk melihat lukisan yang dimaksud anak tersebut. Lukisan lain apa lagi yang dilukis Jemi. Ternyata bukan seperti sebuah lukisan yang ada di rumah Siska, melainkan sebuah pahatan wajah seorang wanita yang sedang tersenyum di taman bunga yang begitu indah. Jemi, kamu tidak pernah melupakan aku. Aku sangat yakin akan hal itu siang ini. Aku berusaha mencari keberadaan Jemi di TK tersebut. Aku berlari dan masuk ke dalam setiap kelas. Lagi-lagi aku terjatuh ketika sedang berlari dan seseorang membantuku berdiri.
            “Apa, kau terluka?”
            Seorang laki-laki yang berdiri dengan menggunakan sebuah tongkat menyapaku. Laki-laki itu adalah Jemi.
            “Baiklah, kalau begitu lain kali harus lebih hati-hati dan jangan berlari di ruangan yang kecil dan ramai.”
            Jemi berjalan meninggalkanku sambil memegang tongkatnya. Aku terduduk dan terkejut dengan apa yang aku lihat. Lalu Siska datang dan memelukku.
            “Siska, apa yang terjadi pada Jemi? Dia tidak melihatku, dia tidak mengenaliku lagi dan pergi begitu saja.”
            “AKu juga tidak tahu mian. Kenapa kita tidak Tanya langsung padanya.”
            “Aku takut siska, aku tak sanggup berbicara dengannya saat ini. Siska, mungkinkah!!!”
            Aku tiba-tiba teringat satu hal dan lagi-lagi menarik siska untuk menjadin sopirku hari ini. Aku tak bisa memaafkan diriku jika hal yang kutakutkan benar-benar terjadi.
            “Mian kenapa kita ke rumah sakit pusat? Apa kau sakit?”
            AKu terus berkonsentrasi memikirkan kemungkinan-kemungkinan kenyataan yang akan terungkap.  Aku tarik nafas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri setelah mengetahui kenyataan lainnya pada Kejadian siang hari tujuh tahun yang lalu.
   **********     
        Keesokan siangnya, aku kembali mengunjungi TK Renita Desmian. Karena hari ini adalah Minggu TK terlihat sepi sekali. Seorang laki-laki berjalan dengan menggunakan tongkatnya dan duduk di sebuah pohon. Dia memasukkan sebuah kertas ke dalam kotak dan menanamnya di bawah pohon tersebut. Aku menghampiri dan merebut kotak tersebut.
            “Hei!! Kamu siapa???”
            Laki-laki itu berusaha mengenaliku dan terdiam saat menyentuh rambutku. Aku lalu membaca semua kertas yang berada dalam kotak. Semua kertas tersebut bertuliskan  
        Tuhan, aku bukan teman yang baik, tetapi Seandainya aku bertemu dengan Mian, izinkan aku menjadi temannya selamanya.
            “Jemi…terima kasih…matamu begitu indah dan begitu terang.”
            Aku langsung memeluk Jemi setelah membaca tulisan tersebut.
            “Mian, apakah kau bahagia?”
            “Tentu saja Jemi, aku selalu melihat indahnya dunia dengan matamu. Apakah kau bahagia Jemi?”
            “Tentu saja, aku selalu bisa merasakan setiap kali kamu melihat indahnya dunia dan merasa bahagia.”
            Jemi tersenyum dan ini pertama kalinya aku melihat pemandangan yang begitu indah sejak tujuh tahun yang lalu. Lalu Jemi membelai rambut kriboku dan menghapus air mata yang terus berlinang sejak kemarin siang.
            “Mian apakah kau mau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku dan menjadi temanku selamanya?”, tanya Jemi.
            “Bagaimana denganmu Jemi?”
            “Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu Mian karena kau satu-satunya temanku. Aku tak bisa hidup bahagia tanpamu.”
            “Kalau begitu aku tidak akan meninggalkanmu karena aku ingin kamu selamanya bahagia.”
            Begitulah akhir kisah cinta dan persahabatanku dengan Jemi. Akhirnya Mimpiku di bawah pohon revolusi tercapai. Aku telah menemukan seorang pangeran yang akan menjadi teman setiaku hingga akhir masa. Cinta yang selalu membantu setiap aku mendapat masalah. Cinta yang selalu membelaku setiap kali mereka menghina ayah dan ibu, dan cinta yang tak pernah memanggilku si kribo. Cinta tu adalah sahabatku, Jemi Rianda.

Program perdana FKR "Karena aku bukan perempuan pelukis perasaan" Episode satu: Aku Hanya Ingin Mandiri by Fajriani Kurnia Rosdi on Thursday, February 24, 2011 at 4:26pm



            Siang ini, di bawah langit biru berselimutkan awan beruas, aku berjalan mengitari melati putih yang suci. Kemudian semilir angin berhembus menjatuhkanku di ats rerumputan hijau yang basah akibat tetesan hujan. Kupejamkan mata merasakan aroma Ikan Mas Panggang masakan ayah terlezat. Saat hendak bangkit kembali, seekor kupu-kupu hitam terbang lalu hinggap di atas kepala. Dari balik pintu kaca taman belakang, ku tatap wajah ayah yang sedang memasak ditemani si manis Melinda yang masih berumur lima tahun. Segenap kekuatan dating hingga aku mampu menatap matahari yang bersinar terik pada titik terdekatnta terhadap bumi.

     “Ayah…mbak sudah pulang”
     Teriakan Melinda terdengar sangat manja.
     “Assalamu’alaikum cantik, bantu ayah masak ya sayang..”
   Ku kecup dahi Meli dengan penuh rasa sayang lalu ku raih tangan ayah, menciumnya, memberi salam sebagai rasa penghormatan tertinggiku untuknya.

    “Sayang, aku sudah sangat lapar”
Aku mengambil peralatan makan dan menyiapkannya di atas meja. Sayang merupakan panggilan gombalanku kepada ayah. Hubungan kami sangat dekat apalagi sejak ibu meninggal tiga tahun yang lalu akibat keguguran saat hamil adikku yang kedua.
   “Sabar dong sayang, lima menit lagi gak pake lama”, ayah membalas godaanku. “oh ya Win, kamu darimana? Bukannya hari ini gak ada jadwal kuliah?”
  “Aku tadi ngajar les anak dosen yah, mereka sebentar lagi mau UAN.”
  “Kamu kok banyak banget kerjaan akhir-akhir ini? Uang jajan kamu kurang?”
  “Nggak kok yah, I just want to be an independent girl.”
Aku berusaha meyakinkan ayah bahwa tidak ada masalah yang mengganggu.
   “Okay sweety, I believe in you.”
Ayah mengerlingkan matanya seraya tangan mengangkat panggangan ikan yang telah matang.
   “Ayah….Meli juga ingin bisa berbahasa inggris.”
Meli kembali berteriak manja.
   “Mungilku sayang, kalau gitu kamu harus jadi anak yang pintar seperti ibu dan mbakmu.”
Ayah menggendong Meli dan menaikkannya ke atas pundaknya.
Rasanya hangat sekali jika bersama ayah dan meli. Tak ada kebahagiaan sejati selain hidup bersama keluarga di dalam istana kecil penuh cinta, bunga, dan lukisan. Semua hiasan yang berada di istana kami merupakan hasil karya ayah, ibu, dan aku. Ayah berprofesi sebagai seorang pembuat taman kecil-kecilan. Dalam satu bulan biasanya ayah melakukan 3-4 proyek pembuatan taman. Sementara aku merupakan seorang mahasiswa fakultas seni jurusan seni rupa. Bakat melukisku diturunkan dari ibu yang di masa mudanya merupakan sorang pelukis abstrak terkenal.
   “Bismillahirrahmanirrahim….Mari Makan!!!”
Meli memimpin doa dan ucapan selamat makan seperti biasa. Aku mulai mengira meli akan menjadi seorang penari nantinya karena masih kecil saja setiap gerakannya sangat lentik.
Masakan ayah sangat lezat. Setiap hari kami dihidangkan makanan lezat yang bervariasi. Walaupun ayah merupakan seorang laki-laki yang berstatus duda selama tiga tahun, ayah tak pernah berniat mencari ibu baru untuk kami. Ayah pernah berkata bahwa dirinya adalah lelaki hebat yang bisa menjaga dan mendidik kami hingga dewasa, namun dia tidak hebat dalam melupakan ibu. Ketegaran dan perjuangan ayah yang membuatku berubah menjadi perempuan yang mandiri dan selalu tegak dalam setiap menjalani keidupan. Ayah selalu berkata jalan kehidupan itu tak selamanya lurus, terkadang berbelok, mendaki, bahkan menurun. Untuk itu, kita harus selalu siap menjadi pengemudi roda kehidupan yang baik.
    “Ayah, aku ke kamar ya, ada job baru.”
Aku segera pamit dan beranjak menuju kamar penuh inspirasi setelah acara makan siang kami selesai.
“Sukses ya cantik…”
Aku hanya bisa tersenyum setiap ayah menggodaku. Maklum saja, tak ada lagi perempuan lain yang dekat dengan ayah selain kami berdua.
Semerbak wangi Dahlia mulai aku rasakan saat membuka pintu kamar. Kuregangkan seluruh badan , lalu membuka memo catatan pekerjaan hari ini. Ada taiga buah pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan rumah anak SD, membuat gambar peta Australia, membuat anyaman dari pita Jepang, dan terakhir berkreasi dengan menggunakan tanah liat. Ada sebuah catatan kecil di bawah memo. “Mbak Wina buat yang bagus ya biar aku ranking satu.” Adik ini kecil-kecil sudah berbuat curang untuk menjadi juara. Tak ingin membuang waktu, aku langsung mengambil peralatan menggambar dan atlas benua Australia tentunya. Sesaat hendak mulai bekerja ponselku bordering dan merupakan panggilan dari Dila musuhku sahabatku.
     “Hai Wina, aku tahu kamu sedang merahasiakan sesuatu dari Wendi.”
     “Maksud kamu apa dil?”
     “Kamu akhir-akhir ini kerja begitu keras untuk mendapatkan uang sepuluh juta kan?”
     “Kamu buntuti aku lai Dil?”
Aku bingung kenapa ada manusia yang suka nguntit seperti Dila.
  “Iya dong, aku gak akan bahagia selama kamu masih bahagia bersama Wendi. Kamu itu cocoknya gak punya teman win.”
  “Gila kamu.”
  “gak penting, tapi benar kan kamu butuh sepuluh juta dalam waktu dekat? Aku ada job buat kamu dan langsung dapat tunai sepuluh juta, gimana?”
  “Kerja apa emangnya?”
  “Jadi pembantu sehari di rumah pacar baruku.”
  “Gak waras kamu dil!!!”
Kuputus langsung percakapan dengan dila melalui ponsel yang menurut aku sangat membuang-buang waktu. Walaupun hanya sehari, tetap saja yang namanya pembantu berarti aku akan dipandang rendah sama dia. Ponselku tiba-tiba bordering kembali dan kali ini tanda sms masuk. Ternyata sms dari Dila yang berisi
 Aku serius. Pembantu sehari setelah itu ku bayar lunas sepuluh juta. Aku juga akan mengawasi. Jika berminat, hubungi aku dan aku akan segera mengirim alamat rumah  ;)
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Sudah sepuluh menit waktu terbuang sia-sia. Beberapa saat mulai menggambar Meli masuk tiba-tiba dan mengangguku bekerja. Anak itu menari-menari di depanku.
“Mbak itu Australia bukan bacanya? Australia itu negeri Kangguru ya mbak?, mbak…mbak…mbak bisa tarian Kangguru? Coba dong mbak, aku mau lihat..”
“Sayang, mbak lagi kerja, nanti kita main kalau sudah selesai ya sayang.”
“Gak mau mbak, atau aku nangis.”

Meli langsung berbaring melengkung. Repotnya jadi seorang kakak, aku pun berdiri dan berkreasi menciptakan tarian Kangguru. Tetapi, baru beraksi beberapa gerakan, pandanganku tiba-tiba saja kabur dan perutku sakit sakali. Sakit muncul mendadak sekali. Sebuah suara tiba-tiba saja mncul. “Wina, kamu istirahat saja dan pekerjaanmu akan selesai sebentar lagi.” Suara itu begitu menenangkanku. Hingga aku seperti melayang tanpa merasakan sakit lagi.
****       
   Udara yang dingin menyadarkanku dari tidur panjang. Semerbak wangi dahlia yang aku rasakan saat pertama kali membuka mata. Kulihat jam menunjukkan pukul 06.30. Cahaya pagi menembus kaca jendela kamar. Sejenak senyumku hilang saat teringat pekerjaan yang harus diserahkan pagi ini. Aku mulai panic dan beranjak dari tempat tidur untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat semua pekerjaan telah selesai begitu indah. Sebuah kerajinan tanah liat rumah dengan anggota keluarga yang saling bercanda di beranda, anyaman tikar pun telah selesai dengan rapi, begitu pula dengan gambar benua Australia. Melihat hal mengharukan tersebuta, aku langsung keluar untuk menemui ayah. Suara nyanyian anak kecil terdengar dari taman belakang. Ternyata ayah sedang memandikan Meli. Tanpa menunggu waktu lagi, aku berlari dan langsung memeluk ayah seperti sikap anak-anak seusia Meli.
            “Ayah, sepertinya aku tak akan bisa hidup tanpa dirimu. Terima kasih ya sayang.”
            Ayah lalu membelai rambutku dengan kasih sayangnya.
            “Mbak sudah sembuh? Mbak, kemarin meli sudah nakal jadi meli minta maaf.”
            “Nggak sayang, semua bukan salah Meli.”
            Aku menghapus air mata meli yang seketika itu jatuh.
            “Wina, ayah harap kamu gak usah lagi aktif kerja dan kejadian pingsan di dalam rumah gak akan pernah terjadi lagi.”
            “Siap ayah, aku mandi dulu ya. Biar aku yang antar Meli pagi ini. Rumah Pak Albert, dosen wina satu wilayah dengan Tk meli.

            “Iya. Hati-hati jangan terlalu semangat.”
            Pagi ini cerah sekali. Aku sepintas teringat Wendi. Aku berusaha menenangkan diri dan meyakinkan bahwa ada banyak hal lain yang lebih penting dari hanya sekadar cinta dan wendi. Dan ternyata laki-laki itu telah menungguku dip agar Tk Meli.
            “Mas Wendi….”
            Meli berlari kea rah wendi riang sekali.
            “Hai adik cantik, apa kabar sayang?”
            “Seperti biasa tidak ada mas berarti tidak ada coklat juga.”
            Akupun tersenyum mendengar kepolosan meli dan aku mendapatkan ide cemerlang.
            “Kalau gitu, meli nanti pulang dijemput mas Wendi biar langsung dibelika coklat, gimana wen?”
            “Ya mbak.”
            Meli langsung masuk ruang kelas dan terlihat sangat bahagia bermain bersama teman-temannya.
            “Win, ayahmu cerita kamu malam tadi pingsan karena terlalu banyak pekerjaan. Kamu sibuk apa?”
            “Aku ingin mandiri, itu saja.”
            “Aku Tanya kamu sibuk apa?”
            Wendi terlihat bĂȘte dan marah.
            “Eh wen, tunggu bentar ya, itu ada nenek yang kesulitan nyebrang, kasihan dia.”
            Aku berlari menghampiri nenek yang sejak sepuluh menit yang lalu belum berhasil menyebrang.
            “Ya, urus saja selalu diri kamu dan orang lain. Aku juga banyak kerjaan.”
            Wendi berteriak dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku kembali menenangkan diri bahwa ada banyak hal lain yang lebih penting dari sekadar cinta dan wendi. Ku rangkul bahu nenek agar memberikan rasa aman saat kami menyebrang.
            “Makasih ya nak, semoga kamu sehat selalu.”
            Nenek lalu membelai rambutku.
            “Amin Ya Allah. Makasih juga nek atas doanya.”
            Aku kembali melangkahkan kaki dengan riang dan penuh semangat. Saatnya ke rumah pak Albert dan setelah itu melakukan pekrjaan baru lainnya.
     ****
     Tepat saat matahari mulai tergelincir, aku menyusuri jalan aspal kecil. Jalan yang begitu kecil dan hanya untuk satu kendaraan. Hatiku mulai ragu untuk terus melangkah. Di penghujung jalan, sebuah rumah mewah berdiri kokoh menghadap ke arah timur. Jujur saja aku gak akan sanggup menjadi pembantu di rumah sebesar ini walaupun hanya sehari. Gerbang pagar masih tertutup rapat dan aku menekan tombol bel kamera.
            “Dil, aku sudah di luar.”
            “Spertinya kamu sudah siap jadi pembantu sayang.”
            Dila meledekku setelah pelihat pakaian yang aku pakai hari ini kemudian dia secepat kilat keluar membukakan pagar.
            “Selamat datang bik!
            “Gila, rumah segede ini gak ada satpam dan pembantunya?”
            “Ada win, tapi hari ini spesial jadi mereka libur.”
            “Hari spesial?”
            “Ya, hari spesial kamu jadi pembantu bik wina.”
            Dila terlihat senang sekali bisa berada di atasku saat itu. Dila adalah temanku sejak SD. Kami selalu bersama, tetapi persahabatan kami dilandasi dengan rasa saling benci dan iri. Aku tak pernah memerdulikan hal tersebut. Bagiku Dila adalah sahabat terbaik dan itu terbukti saat ibu meninggal, dia teman yang selalu berada  di sampinhku.
            Sesosok laki-laki berbadan tinggi, modis, dan berwajah tampan keluar rumah menhampiri kami.
            “Win, dia Erwin pacar baruku dan pemilik rumah ini. Erwin, dia wina musuhku sahabatku dan merupakan pembantu kamu hari ini.
            “Oke sayang.”
            Erwin hanya mangut-mangut. Kemudian kami bertigapun masuk ke dalam istana super besar itu.
            “Win, kamu bersihkan kamar Erwin setelah itu halaman belakang dan bersihkan seluruh sudut rumah tan menyisakan debu sedikitpun.”
            Dila memberikan instruksi. AKu yakin Dila bahagia sekali bisa memerintahku seperti ini.
            “Oke, aku bersihkan.”
            Demi sepuluh juta dan masa depan, aku rela bahkan menjadi seorang pembantu sehari di hadapan teman sendiri. Tetapi jujur saja dila itu benar-benar sudah tidak waras. Apa yang dinginkannya dari berbuat seperti ini kepadaku. Dila sedang duduk di taman belakang duduk santai bersama Erwin. Mereka terlihat bahagia, tetapi mengapa dia masih saja ingin agar aku tidak bersama wendi. Alasan yang paling logis adalah karena dia sudah tidak waras lagi.
            Baru satu jam bekerja dan itupun belum seluruh sudut kamar Erwin yang aku bersihkan, pandanganku kembali kabur. Aku berusaha menahan diri, namun kepala dan perutku terlampau jauh sakit sekali. Aku melihat wajahku di cermin dan darah mulai mengalir dari hidungku. Pandanganku semakin kabur dan jiwaku seakan melayang. Sejenak pikiranku terhenti hingga Dila menyebut namaku dengan lembut tidak seperti biasanya.
            “Wina…wina….wina…”
            Kedua mataku terbuka dan terlihat Dila sangat cemas sekali.
            “Maaf Dil, aku akan kembali bekerja.”
            Baru hendak berdiri, Dila kembali menarik tanganku. Tubuhku yang terlalu lemah mudah saja dikendalikan.
            “Kamu kenapa lagi Dil? Aku mau kerja.”
            “Kamu butuh uang sepuluh juta untuk daftar ikut perlombaan melukis internasional itu kan? Kamu mau mendapatkan beasiswa sekolah lukis di Roma. Kenapa kamu gak pernah jujur? Kamu sudah gila wina dan sekarang aku yakin kamu pasti sakit.”
            “Benar, kamu sangat benar. Kamu takut bersaing dengan aku bukan? Sudahlah, aku mau kerja dan setelah itu beri aku sepuluh juta. Mari kita bersaing secara sehat.”
            “Win, aku gak pernah nyangka ternyata kamu gak hanya egois, tetapi juga sombong. Kamu begitu baik dengan keluarga dan orang lain tapi kamu tidak menyayangi diri kamu sendiri. Melinda gak pantas punya mbak seperti kamu. Ini uang sepuluh juta karena aku kasihan pada tubuh Wina dan bukan pada Wina. Dan terakhir, Wendi itu seorang penjudi”
            Dila pergi meninggalkanku Pandanganku kembali kabur dan kali ini sakit kepalaku berlipat ganda rasanya. Ku lihat jam sudah pukul empat sore. Seharusnya Meli pulang lima jam yang lalu. Mungkinkah Wendi tidak menjemputnya apalagi dia tadi begitu marah kepadaku. Aku tidak bisa berpikir karena kepalaku benar-benar sakit sekali.
            “Dila, Meli tidak ada yang menjemputnya di Tk. Tolong jemput Meli…..”
            Aku tak bisa bersuara lagi, tubuhku begitu lunglai dan kemudian terhempas jatuh ke daratan. AKu kembali tertidur  panjang. Dalam tidur aku bermimpi bersama ayah dan Meli berada di sebelah lukisan sang maestro Leonardo da vinci di kawasan Temple University Rome.  Begitu aku terbangun dari mimpi, kulihat sosok ayah, Meli, dan Dila.
            “Meli, kamu sudah pulang? Mbak minta maaf ya sayang. Mbak telat menjemput kamu.”
            Aku begitu lega karena Meli terlihat sehat dan tidak terjadi apa-apa.
            “Meli di jemput ayah mbak, tapi itu kan kemarin. Mbak tidur nya lama sekali.”
            Meli memelukku, sepertinya dia kangen bermain bersamaku.
            “Ayah, Wina minta maaf.”
            Aku menoleh menatap ayah. Tak kuasa aku menahan air mata agar tidak jatuh. Aku telah banyak berbuat salah kepada orang-orang yang menyayangiku. Termasuk Dila sahabat terbaikku.
            “Sayang, kamu jangan pernah lagi menyimpan rahasia dari ayah. Kamu benar-benar bodoh sayang.”
            Ayah membelai rambutku. Kemudian mengecup dahiku. Hangat sekali rasanya.
            “Hey Nona Wina yang tidak menyangi diri sendiri, tau gak kamu itu sudah tiga hari terinfeksi demam berdarah. Gila kamu, coba bayangkan jika tidak diobati, bagaimana mau ikut ujian seleksi beasiswa ke luar negeri? Kamu mengerti maksud temanmu ini kan?”
            “Apa, demam berdarah? Benar ayah?”
            Aku seakan tak percaya. Namun ku lihat ayah menganggukkan kepalanya.
            “Untung saja belum terlambat, aku baru saja bermimpi berada di dalam museum Leonardo da vici, InsyaAllah enam bulan lagi.”
            Aku berteriak sangat yakin sekali.
            “Amin…”
            Semua orang yang berada di ruang rumah sakitpun mengaminkan mimpi-mimpiku.
            Aku akan mengejar mimpiku menjadi pelukis terkenal agar bisa membanggakan ayah. Ibu, Meli, dan sahabat terbaikku Dila. Rasanya memang begitu hangat jika berkumpul bersama orang-orang yang disayangi. Ternyata memang ada banyak hal lain yang lebih penting dari hanya sekedar cinta dan Wendi. Semua yang terjadi saat ini bukan karena aku tak mampu mengendalikan jalan kehidupan yang lurus kemudian berbelok, mendaki, hingga menurun, namun karena aku wanita mandiri yang selalu tegak dalam menghadapi kehidupan karena aku bukan perempuan pelukis perasaan.