Sabtu, 16 April 2011

Program perdana FKR "Karena aku bukan perempuan pelukis perasaan" Episode Tiga: Kertas Mimpi di bawah Pohon Revolusi

Hai, namaku renita Desmian, dan ini merupakan tempat favoritku, pohon Revolusi. Pohon ini memiliki arti penting karena di bawah pohon inilah aku selalu mengucapkan mimpi-mimpi yang harus dicapai, lalu menulisnya pada sebuah kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kotak agar ditanam di bawah pohon. Setelah mimpi tercapai, aku akan mengambil kembali kertas tersebut untuk disimpan dalam sebuah buku keberhasilan. Semua ini kulakukan berdasarkan teori-teori tumbuhnya pohon yang besar dan kokoh berasal dari bibit kecil yang diragukan. Ya, aku memang terlalu bodoh menganalogikan dua hal yang tidak mungkin akan pernah berhubungan, tetapi aku selalu menyiram tanah pembungkus kertas mimpi kehidupanku sampai dia tumbuh dan menjadi kenyataan. Tak ada kertas lain dalam kotak ini karena sejak tamat SMA aku tak mempunyai mimpi apa-apa selain memiliki pekerjaan dan itu telah terwujud empat tahun yang lalu tanpa sempat menanam kertas mimpi sebelumnya. Selama empat tahun itu pula aku tak pernah mengunjungi pohon ini, tak pernah lagi berteduh di bawah pohon ini. Aku hanya memandang saja dari kejauhan jika aku merindukannya.
         Pagi  ini, waktunya aku menanam kembali sebuah kertas mimpi yang telah aku tulis dari semalam. Kuambil nafas dalam-dalam dan menghembusnya dengan kuat. Aku ragu dengan apa yang kulakukan. Sejak peristiwa memalukan tujuh tahun yang lalu, rasanya tidak ingin lagi menginjak tempat ini. Aku masih ingat kejadian tujuh tahun yang lalu, di bawah pohon revolusi ini, aku menangisi sebuah mimi yang fana. Satu-satunya mimpi yang selalu aku rawat selama tiga tahun dan hari itu terjawab dengan sia-sia. Mimpi tentang sebuah cinta yang selalu hadir bahkan pada titik nadir kehidupanku. Cinta yang selalu membantu setiap aku mendapat masalah. Cinta yang selalu membelaku setiap kali mereka menghina ayah dan ibu, dan cinta yang tak pernah memanggilku si kribo. Tetapi siang itu, cinta itu telah melukai hatiku hingga menembus titik terkecil yang selama ini belum terjamah. Siang itu, aku merobek semua mimpi-mimpiku temasuk sebuah mimpi yang rencananya hari itu akan aku tanam.
“Mian….. kenapa kamu merobek semuanya.”
Aku diam saja dan terus merobek kertas mimpi hingga mencapai bagian terkecil yang tak bisa dipegang dan dengan sendirinya jatuh ke tanah.
“Jemi, aku mau kamu pergi saja. Mulai hari ini kamu tidak berarti apa-apa lagi bagiku.”
“Mian, sungguh semuanya bukan karena ayahmu seorang koruptor dan bukan karena kamu berambut kribo!”
“Jemi…ini pertama kalinya kamu mengucapkan kata kribo jem….”
Aku berlari meninggalkan Jemi.
Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengan Jemi, hari pertama aku duduk di bangku SMA. Hari itu, Semua teman-teman melirikku sinis dan tak ada yang mau aku ajak untuk berkenalan, bahkan teman satu SMP pun  ikut menjahuiku. Tak ada yang mau duduk disebelahku saat di kelas. Waktu istirahat pun aku habiskan sendirian dengan memesan Mie Ayam.
      “Hahahahaha, Teman-teman Perhatian!!!!” ujar siska yang selalu satu sekolah denganku sejak SD. “Lihat Mian memesan Mie Ayam, pantasan saja rambutnya kribo!!! Bik, jangan terima uang dari dia, itu uang haram dari seorang anak koruptor!!!”
Siska benar-benar kejam, bukannya membela dan mengayomiku, dia malah menghina aku dan keluarga. Aku hanya diam dan berusaha tidak menghiraukan kata-katanya.
        “Mian, aku dengar ibumu masuk rumah sakit jiwa ya karena gila!! Makan uang haram siy!!! Teman-teman jangan pernah mau berteman dengan Kribo jelek jika kalian ingin tentram di sekolah ini!!”
Siska kembali berteriak keras
       “WawWw!!! Komplit sekali penderitaanmu kribo!!”
Teriak teman-teman geng Siska, Geng The Cutest.
Aku sangat yakin sejak peristiwa itu tak akan ada yang mau menjadi temanku karena siska merupakan anak pemilik SMA yang berarti penguasa di sekolah ini.  Lagipula Siapa yang mau berteman dengan seorang kribo anak koruptor dan seorang ibu yang gila. Tapi ternyata dugaanku salah. Seorang siswa laki-laki datang dan duduk di sebelahku. Dia laki-laki yang sangat sederhana, baik dari penampilan maupun tutur bahasanya.
“Hai, namaku Jemi, senang berkenalan dan berteman denganmu.”
“Aku Mian”, ujarku tersenyum.
Sejak saat pertama kali berkenalan, Jemi satu-satunya teman terdekatku dan merupakan cinta impianku. Dia yang menerimaku apa adanya. Predikat murid terbodoh pun tidak membuatnya menjahuiku. Dia seorag yatim dan ibunya hanyalah seorang penjual kue, tetapi dia memiliki semangat dan kepercayaan diri yang tinggi hingga ia terpilih menjadi ketua OSIS di sekolah kami. Mungkin jika aku tidak berteman dengan Jemi, aku sudah keluar atau menjadi satu kelompok dengan Oliv, Lili, dan Bunga yang merupakan warga tertindas di sekolah. Karena itulah, aku tak pernah berani mengutarakan perasaanku padanya karena aku takut setelah itu Jemi meninggalkanku dan aku tak akan pernah mempunyai seorang teman lagi.
Aku masih ingat, saat ibu Jemi sakit, kami bolos sekolah dan berjualan kue menggantikan pekerjaan ibu. Sebuah masalah terjadi, hari itu hujan sangat deras hingga aku terjatuh saat kami  berlari untuk segera berteduh. Kue-kue yang masih banyak pun jatuh berserakan. Aku kemudian menangis dan terduduk di bawah hujan.
“Mian, apa ada yang terluka?”
            “Jemi, maafkan aku. Semua kue menjadi kotor”, ujarku dengan sangat menyesal.
            “Tidak apa-apa, mungkin ini rezeki untuk mahluk Allah lainnya.”
            “Maksud kamu?”
            “Ya, tidak ada yang sia-sia. Kue yang terbuang dengan tidak sengaja pun masih bisa menjadi makanan bagi kucing, anjing, bahkan semut sekalipun. Mari sekarang kita kumpulkan menjadi satu lalu kita taruh di dekat tempat sampah.”
            “Jemi, kamu lupa satu hal penting. Pemulung dan orang gila  juga sering mengorek-ngorek tempat sampah”, ujarku sambil tersenyum.
            “Ya, benar sekali Mian, mungkin ini juga rezeki untuk mereka”, ujar jemi mencubit pipiku.
Setelah hujan reda pun kami mengamen di jalanan. Setidaknya kami harus mendapatkan uang walaupun sedikit sehingga perjuangan kami membolos tidak akan sia-sia.
            “Jemi, apakah kau mau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku”, ujarku.
            “Bagaimana denganmu Mian?”
            “Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu Jemi karena kau satu-satunya temanku. Aku tak bisa hidup bahagia tanpamu.”
            “Kalau begitu aku tidak akan meninggalkanmu karena aku ingin kamu selamanya bahagia.”
            Demikianlah persahabatanku dengan Jemi tidak pernah diliputi pertengkaran. Hingga persahabatanku dengan Jemi berakhir siang itu setelah sebuah surat dan kenyataan pahit yang terungkap. Siang di hari perpisahan sekolah kami. Siang itu, Siska kembali membuat sebuah pengumuman di hadapan seluruh teman-temanku.
            “Teman-teman perhatian!!! Aku punya sebuah pengumuman. Beberapa hari yang lalu aku menemukan sebuah buku harian milik salah seorang teman kita yang bernama Renita Desmian. Dan di dalamnya ada sebuah catatan perasaannya kepada sahabatnya sendiri, Jemi. Sekarang aku bacakan tulisannya.
             
Jemi sahabatku, maafkan aku telah membohongimu hingga detik ini Karena aku terlalu mencintaimu Jemi.  Maaf,  Aku terlalu mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.

Mian, kamu seorang pengkhianat karena telah membohongi sahabatmu sendiri!”
            Siska berteriak memojokkanku. Semua pandangan tersorot kepadaku, termasuk Jemi yang tawanya berubah menjadi begitu dingin yang membuatku tertunduk malu.
            “Mian, ada satu pengumuman lagi untukumu. Mulai hari ini kamu jangan pernah bersama Jemi karena Jemi adalah pacarku. Apa Jemi belum memberitahukanmu kalau kami sudah berpacaran selama tiga bulan! Jelas saja Jemi lebih memilihku daripada kamu. Walaupun kamu sahabatnya, tetap saja kamu anak seorang narapidana koruptor berambut kribo dan kamu selalu mendapat peringkat terakhir di kelas.”
            Siska terlihat puas sekali siang itu menertawakanku. Aku beranikan diri menatap Jemi dengan mata yang telah basah. Aku tak percaya Jemi akhirnya menyakiti hatiku. Bahkan seandainya dia menolakku, aku tidak akan terluka seperti ini asalkan perempuan itu buan Siska dan dia tidak merahasiakannya dariku. Aku berlari sekuat-kuatnya menuju pohon revolusi dan merobek semua kertas mimpiku. Jemi yang kukenal saat pertama kali duduk di bangku SMA dan Jemi yang aku lupakan saat mengakhiri bangku SMA. Siang itu,  Aku berlari sekuat dan secepat mungkin untuk menemui ayahku yang dipenjara akibat kasus korupsi yang ia lakukan bersama rekannya. Walaupun ayah seorang koruptor, aku tidak pernah membencinya dan melupakannya. Tak ada kelurga lain yang aku punya selain ayah, tepatnya keluarga yang nyata. Aku mempunyai seorang ibu, tetapi sejak ayah dipenjara ia juga pergi meninggalkanku menuju dunianya. Sebuah dunia yang tak bisa aku mengerti. Ibuku mengalami ganguan jiwa dan hingga saat ini masih dirawat di rumah sakit jiwa. Kata dokter mungkin ibu bisa sembuh jika bertemu dengan ayah karena setiap saat ibu selalu menyebut nama ayah. Hal itu sangat menyakitiku karena ayah diberi sanksi pidana selama sepuluh tahun penjara.
            “Mian….. Tunggu aku!!!!”
            Saat itu aku masih bisa mendengar jeritan Jemi memanggil namaku. Namun aku sama sekali tak menghiraukannya hingga aku terus berlari dan tiba-tiba sebuah mobil menabrakku dan aku koma selama tiga hari. Jemi tak berada di sampingku saat aku sadar dan berarti sejak siang itu aku tidak pernah lagi melihat wajah jemi. Mungkin saja saat ini,  ia sudah melupakanku dan bahagia bersama Siska.  Aku tanam kertas mimpi ini lalu kemudian menimbunnya. Kertas mimpi yang berisikan impianku untuk segera manemukan seorang pangeran yang datang menjemput melamarku dan menikahiku. Mungkin dengan begitu aku tidak harus bekerja dan bisa merawat ibu di rumah sambil setiap hari menjenguk ayah di penjara. Tiba-tiba sebuah suara yang sangat aku kenal memanggil namaku.
            “Mian……”
            Aku pun berbalik dan betapa terkejutnya aku melihat sosok siska berdiri di hadapanku sejak peristiwa tujuh tahun yang lalu.
            “Siska, sudah lama tak jumpa, apa kabar?”
            Entah kenapa aku menyambutnya dengan sangat ramah seolah melupakan kejadian masa lalu yang begitu menyakitkan.
            “Baik, kau sendiri bagaimana Mian?”
            “Aku juga baik siska. Bagaimana kau tahu aku ada di sini? “
            “Aku tadi hanya lewat tiba-tiba saja melihatmu. Sudah lama sekali sejak hari itu. Aku jadi ingin sekali berbicara denganmu banyak hal. Apakah hari ini kamu sibuk Mian?”
            “Sama sekali tidak Siska.”
            Aku pun tersenyum hangat. Entah itu merupakan sebuah senyuman tulus untuk seorang teman lama atau hanya sekedar untuk berbasa-basi.
            “Kalau begitu mari main ke rumahku. Apa kau mau?”
            “ummm, baiklah.”
            Aku hanya berpikir mungkin dengan aku ke rumah Siska aku bisa melihat kebahagiaan Jemi bersama Siska. Atau setidaknya aku kembali melihat Jemi sejak kejadian siang itu. Siska ternyata telah menjadi seorang istri pengusaha terkenal. Dandanannya saja sudah berubah menjadi begitu mewah dan elegan. Mungkinkah pengusaha itu adalah Jemi. Aku hanya diam dan sabar hingga aku melihat sendiri di rumahnya nanti.
            Rumah Siska begitu besar dengan sebuah halaman yang sangat luas dan indah. Ketika aku memasuki rumahnya aku melihat sebuah bingkai foto pernikahan dan aku tidak melihat wajah Jemi di foto tersebut. Berarti hubungannya dengan Jemi telah berakhir. Aku merasa sangat senang sekali mengetahui hal ini.
            “Siska, kau beruntung sekali mendapatkan suami yang sangat mapan seperti ini.”
            “Mian, tentu tidak lebih bahagia dibandingkan kau bersama Jemi.”
            Kata-kata Siska menaikkan emosiku.
            “Bersama Jemi! Bukankah kau yang telah mendapatkan jemi! Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak siang itu siska!”
            “Benarkah!! Aku juga tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak siang itu. Mian, sebenarnya Jemi tidak menyukaiku. Dia berpacaran denganku untuk melindungimu mian.  Nilai-nilaimu sangat jelek dan itu bisa membuatmu terancam tidak lulus. Jemi megetahui hal itu karena ia mendengar pembicaraanku dengan ayah. Lalu aku pun memanfaatkan hal tersebut dengan memintanya menjadi pacarku dan ayahku akan membuat nilai akhirmu bagus dan bisa lulus sekolah. Tapi kami tidak pernah main bersama, dia terlalu sibuk mengajarimu dan itu membuatku semakin kesal kepadamu mian hingga aku menemukan buku harianmu. Siang itu hubungan kami berakhir dan aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku benar-benar menyesal selalu menjahilimu di masa lalu Mian.”
            Pengakuan Siska membuat hatiku hancur. Jemi tak pernah mengkhianati persahabatan kami dan seharusnya aku meyakininya dari dulu. Timbul sebersit penyesalan. Sekarang kemana aku harus mencari Jemi dan minta maaf kepadanya. Atau mungkin justru Jemi telah melupakanku dan mempunyai dunia yang baru.
            “Mian, aku kemarin membeli lukisan seorang wanita yang mirip sekali denganmu dan aku lihat nama pelukis di bawahnya adalah Jemi Rianda. Karena itu, aku kira kamu dan Jemi telah bahagia bersama. Tunggu sebentar aku mengambil lukisan tersebut.”
            Betapa terkejutnya aku saat melihat lukisan yang dimaksud Siska. Lukisan itu adalah aku yang sedang menyirami gundukan tanah di bawah pohon revolusi. Mungkinkah Jemi masih mengingatku atau mungkin ada Jemi Rianda lain di kehidupan ini yang mempunyai imajinasi luar biasa dan melukis wajah yang sama denganku.
            “Siska, apakah kau bisa membantuku menemukan Jemi. AKu ingin sekali bertemu dan minta maaf dengannya. Siska…aku mohon..”
            Ini pertama kalinya aku meminta bantuan kepada Siska. Lalu kami pun bertanya kepada penjaga galeri mengenai keberadaan Jemi Rianda.
            “Nona Mian. Kami sebenarnya juga tidak mengetahui Jemi Rianda karena selalu asistennya yang mengirim lukisan-lukisannya ke galeri kami. Tetapi kami mempunyai alamat sekolah milik Jemi dan dia tinggal di sekolah tersebut. “
            Tanpa berpikir panjang akupun menarik Siska dan mengajaknya menemui alamat yang diberikan oleh penjaga galeri. Ternyata sekolah yang dimaksud adalah sekolah TK yang bernama TK Renita Desmian. Siang itu di TK tersebut dipenuhi oleh anak-anak yang tengah bermain. Mereka bermain dengan riang sekali. Tiba-tiba sebuah bola bergulir ke arahku.
            “Tante, apakah tante yang wajahnya ada di lukisan halaman belakang?”
            “Mungkin saja, Baiklah mari tante lihat ya anak manis.. ini bolamu sayang.”
            Lalu aku dan siska pun menuju halaman belakang untuk melihat lukisan yang dimaksud anak tersebut. Lukisan lain apa lagi yang dilukis Jemi. Ternyata bukan seperti sebuah lukisan yang ada di rumah Siska, melainkan sebuah pahatan wajah seorang wanita yang sedang tersenyum di taman bunga yang begitu indah. Jemi, kamu tidak pernah melupakan aku. Aku sangat yakin akan hal itu siang ini. Aku berusaha mencari keberadaan Jemi di TK tersebut. Aku berlari dan masuk ke dalam setiap kelas. Lagi-lagi aku terjatuh ketika sedang berlari dan seseorang membantuku berdiri.
            “Apa, kau terluka?”
            Seorang laki-laki yang berdiri dengan menggunakan sebuah tongkat menyapaku. Laki-laki itu adalah Jemi.
            “Baiklah, kalau begitu lain kali harus lebih hati-hati dan jangan berlari di ruangan yang kecil dan ramai.”
            Jemi berjalan meninggalkanku sambil memegang tongkatnya. Aku terduduk dan terkejut dengan apa yang aku lihat. Lalu Siska datang dan memelukku.
            “Siska, apa yang terjadi pada Jemi? Dia tidak melihatku, dia tidak mengenaliku lagi dan pergi begitu saja.”
            “AKu juga tidak tahu mian. Kenapa kita tidak Tanya langsung padanya.”
            “Aku takut siska, aku tak sanggup berbicara dengannya saat ini. Siska, mungkinkah!!!”
            Aku tiba-tiba teringat satu hal dan lagi-lagi menarik siska untuk menjadin sopirku hari ini. Aku tak bisa memaafkan diriku jika hal yang kutakutkan benar-benar terjadi.
            “Mian kenapa kita ke rumah sakit pusat? Apa kau sakit?”
            AKu terus berkonsentrasi memikirkan kemungkinan-kemungkinan kenyataan yang akan terungkap.  Aku tarik nafas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri setelah mengetahui kenyataan lainnya pada Kejadian siang hari tujuh tahun yang lalu.
   **********     
        Keesokan siangnya, aku kembali mengunjungi TK Renita Desmian. Karena hari ini adalah Minggu TK terlihat sepi sekali. Seorang laki-laki berjalan dengan menggunakan tongkatnya dan duduk di sebuah pohon. Dia memasukkan sebuah kertas ke dalam kotak dan menanamnya di bawah pohon tersebut. Aku menghampiri dan merebut kotak tersebut.
            “Hei!! Kamu siapa???”
            Laki-laki itu berusaha mengenaliku dan terdiam saat menyentuh rambutku. Aku lalu membaca semua kertas yang berada dalam kotak. Semua kertas tersebut bertuliskan  
        Tuhan, aku bukan teman yang baik, tetapi Seandainya aku bertemu dengan Mian, izinkan aku menjadi temannya selamanya.
            “Jemi…terima kasih…matamu begitu indah dan begitu terang.”
            Aku langsung memeluk Jemi setelah membaca tulisan tersebut.
            “Mian, apakah kau bahagia?”
            “Tentu saja Jemi, aku selalu melihat indahnya dunia dengan matamu. Apakah kau bahagia Jemi?”
            “Tentu saja, aku selalu bisa merasakan setiap kali kamu melihat indahnya dunia dan merasa bahagia.”
            Jemi tersenyum dan ini pertama kalinya aku melihat pemandangan yang begitu indah sejak tujuh tahun yang lalu. Lalu Jemi membelai rambut kriboku dan menghapus air mata yang terus berlinang sejak kemarin siang.
            “Mian apakah kau mau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku dan menjadi temanku selamanya?”, tanya Jemi.
            “Bagaimana denganmu Jemi?”
            “Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu Mian karena kau satu-satunya temanku. Aku tak bisa hidup bahagia tanpamu.”
            “Kalau begitu aku tidak akan meninggalkanmu karena aku ingin kamu selamanya bahagia.”
            Begitulah akhir kisah cinta dan persahabatanku dengan Jemi. Akhirnya Mimpiku di bawah pohon revolusi tercapai. Aku telah menemukan seorang pangeran yang akan menjadi teman setiaku hingga akhir masa. Cinta yang selalu membantu setiap aku mendapat masalah. Cinta yang selalu membelaku setiap kali mereka menghina ayah dan ibu, dan cinta yang tak pernah memanggilku si kribo. Cinta tu adalah sahabatku, Jemi Rianda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar