Selasa, 07 Desember 2010

Nissa: "Cinta ini untukmu" ****part five******

HF Store seakan berevolusi menjadi sebuah pusat perbelanjaan yang paling ramai dikunjungi saat ini. Bagaimana tidak, sebuah pusat perbelanjaan dibawah naungan perusahaan yang dipimpin oleh pengusaha hebat dengan berbagai kisah sejarah kontroversial. Kebebasan dunia pers saat ini membuat masyarakat bisa mengetahui berita-berita aktual yang terjadi dengan sangat cepat. Sebelum diangkatnya kematian Rendi Mubarak Alfarisi, HF Store seolah anak bawang yang tak dianggap di dunia bisnis kota Jambi. Salah satu rumor yang beredar bahwa pamor keluarga Suryadiningrat telah padam bahkan jika ditanya pada generasi 90-an ke bawah telah disurvei delapan puluh persen dari mereka tidak mengenal sosok Suryadiningrat. Apa yang terjadi sekarang sungguh sebuah miracle melalui sebuah kisah tragis yang setelah itu diikuti dengan berbagai kejutan menggemparkan yang beritanya paling dinantikan masyarakat. Tak bisa dipungkiri salah satu sosok yang menaikkan rating HF Store di kalangan masyarakat adalah Haryanto Putra seorang pengusaha terkenal di Indonesia yang paling disegani mitra dan lawannya karena kepiawaiannya dalam membangun relasi dan mengembangkan sebuah usaha bisnis. Selama ini tidak ada yang mengetahui bahwa sebagian saham HF Store merupakan milik Haryanto. Satu-persatu rahasia fakta dibalik HF Store muncul ke permukaan setelah kematian Rendi. Berita peralihan HF Store dari satu pihak ke pihak lain  menjadi kesan misterius bagi masyarakat. Sebuah misteri dibalik HF Store yang selama ini terkubur kemudian bangkit secara tiba-tiba melalui kisah-kisah berita-berita tokoh didalamnya bahkan hingga menyentuh kisah pribadi mereka. Lagi-lagi ketika diadakan survei kepada masyarakat enam puluh persen diantara mereka lebih tertuju pada pemberitaan kehidupan pribadi Haryanto Putra yang selama ini jarang dikemukakan kepada publik. HF Store, sebuah pusat perbelanjaan kecil yang tak dilirik berhasil membuka kehidupan pribadi pengusaha sukses tersebut, tak diherankan mengapa masyarakat mulai tertarik untuk mengunjungi HF Store.
            Cuaca kota Jambi hari ini sangat cerah, seperti ingin mengringi perubahan besar yang dialami Billy hari ini. Terlihat dua orang bersahabat sedang berjalan berdua di sepanjang jalan HF Store. Jalanan saat itu sangat kotor, ada banyak sampah-sampah bekas perayaan tahun baru tadi malam di sepanjang jalan. Terompet-terompet dan bungkus-bungkus makanan yang berceceran dan tidak dibersihkan sama sekali, mungkin bisa dimaklumi karena petugas kebersihan libur hari ini. Akan tetapi, itu semua tidak akan terjadi jika masyrakatnya sendiri sadar untuk tidak mebuang sampah sembarangan. Padahal Jambi dikenal dengan sebutan Kota Beradat, Bersih, aman, dan teratur. Ternyata, semua itu hanyalah julukan dan piala adipura yang telah berkali-kali didapat hanyalah sebuah penghargaan yang masyarakatnya sendiri tidak menghargainya.
            Salah seorang dari mereka, gadis muda dengan indahnya balutan jilbab, seperti sedang memikirkan sesuatu. Sepertinya ia ingin sekali menyampaikan sesuatu hal penting kepada teman laki-laki yang berada di sampingnya, tetapi ia terlihat sangat ragu sekali untuk menyampaikannya. Gadis itu berusaha menenagkan pikirannya yang sedikit kacau sejak kejadian beberapa saat lalu di HF Store. Pikirannya saat ini tertuju pada sebuah proposal yang sangat ia mengerti isinya, kembali kejadian satu bulan yang lalu terngiang di kepalanya. Gadis itu sudah tidak berkonsentrasi lagi dengan jalan yang ia lalui dan lupa bahwa sekarang ia sedang membawa tiga buah paper tray yang cukup berat. Ia tak tahu lagi rasanya berat, hanya keringat yang bercucuran membasahi muka dan pakaiannya. Teman yang sedari tadi memperhatikannya berhenti berjalan sejenak dan melihat sekeliling jalan itu, tak beberapa lama kemudian dia memasuki sebuah toko stationery. Kira-kira tiga menit dia berada dalam toko itu dan keluar dengan membawa dua buah tas, tas sandang dan tas samping. Seakan tersadar dia telah meninggalkan temannya sendirian, dia pun segera keluar setelah membayar dua buah tas tersebut kepada kasir. Kepanikan tergurat di wajahnya ketika keluar dari toko tersebut, temannya tak terlihat. Dia mencoba mengingat pakaian yang tadi dikenakan temannya dan mulai mencari sekeliling daerah pertokoan itu. Tepat di depan toko yang ia kunjungi tadi, terdapat sebuah taman air dengan bangku peristirahatan yang memiliki atap. Ia pun menuju ke sana berharap di tempat itulah temannya saat ini berada. Dugaannya benar sekali, pada bagian depannya, seorang gadis memakai kemeja bitu dan rok kembang berwarna putih, itu adalah pakaian yang tadi dikenakan temannya. Laki-laki itu pun menghampiri gadis yang ia yakini temannya itu. Dilihatnya gadis itu kelelahan sekali dan melamun entah memikirkan apa. Laki-laki itu pun duduk di sebelah gadis itu dan mengambil tiga buah paper tray yang berada di sampingnya kemudian memasukkannya ke dalam tas yang baru saja dibelinya.
            “Terima kasih Billy, ayo kita jalan lagi”, Nissa kembali berdiri dan siap untuk kembali berjalan.
            “Memang sudah seharusnya aku memiliki dua buah tas sekarang, jalan-jalannya sudah cukup, jadi kita langsung pulang saja, apalagi aku harus membaca semua dokumen ini. Kamu hati-hati ya”, Billy sepertinya tidak tega melihat teman yang kelelahan gara-gara menemani hobinya barunya berjalan kaki. Stelah melihat angkot menuju arah rumahnya, Billy pun melambaikan tangannya pada Nissa dan berlari mengejar dalam jarak 500 meter.
            “Semangat ya Billy, kamu pasti bisa”, Nissa membalas lambaian tangan Billy. Melihat itu, Billy pun tersenyum manis sekali. Billy sudah tak bersamanya lagi dan Nissa tak beranjak sedikitpun dari bangku taman itu.
            Arsitektur dari taman itu sangat menarik. Sebuah taman berbentuk segi emam beratapkan langit biru yang dipenuhi bunga dan sebuah air mancur ditengahnya. Taman tersebut dikelilingi oleh bangku-bangku kecil tempat para pengunjung beristirahat sejenak dan menikmati burung-burung yang terbanng mengelilingi air mancur dan kupu-kupu yang hinggap di setiap mahkota bunga yang bermekaran. Setiap satu jam waktu yang berputar air mancur yang berada di tengah taman memancurkan air yang sangat tinggi sehingga membahi bunga-bunga yang mengelilinginya, bunga-bunga itu pun selalu kelihatan indah setiap harinya. Selain keindahannya, taman tersebut memiliki nilai mistik yang belum terungkap sampai sekarang. Taman itu selalu dipenuhi oleh kupu-kupu dan burung-burung seolah mereka tak ingin meninggalkan tempat itu walaupun tak ada penghalang yang menahan mereka untuk pergi. Suasana taman itu pada malam hari terlihat lebih indah dikarenakan lampu-lampu taman yang menerangi mebuat kupu-kupu dan burung-birung yang berterbangan menjadi bersinar. Taman ini telah menjadi taman bermain keluarga yang tak pernah sepi dikunjungi. Tak ada para pedagang kaki lima yang diizinkan memasuki kawasan taman ini, hanya ada para pemain biola jalanan yang diizinkan beraksi pada malam hari dengan pertimbangan bisa menambah suasana kehangatan dan romantisme kebersamaan dalam keluarga. Peraturan itu dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2005.
            Pada dua sisi tegak kanan dan kiri taman merupakan pasar seni rakyat. Pasar tersebut menjual berbagai macam produk kesenian tradisional jambi. Miniatur-miniatir angso duo,  gambaran suku kubu, batik-batik jambi, bahkan makanan tradisonal, seperti tempoyak dan dodol kentang pun juga di jual di pasar ini. Selain untuk mengunjungi taman, masyarakat mengunjungi tempat ini untuk membeli buah tangan bagi mereka yang berada di luar wilayah Jambi. Sedangkan, pada depan dan belakang taman ini berbatasan dengan jalan kecil yang lebih sering digunakan orang untuk berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan. Jalan itu merupakan jalan penghubung menuju jalan raya berjarak sekitar satu kilo meter dan taman itu ter.letak pada sisi tengahnya.

            Pada sisi bagian depan, belakang, dan setiap sisi miring taman memiliki bangku peristirahatan seperti sebuah halte bis yang di sepanjangnya terdapat aliran air buatan berisikan batu-batu dan ikan-ikan kecil. Di sanalah saat ini Nissa duduk menikmati ikan yang bergerak menngikuti aliran air. Seandainya saja kehidupan manusia seperti ikan-ikan itu yang hanya mengitu aliran air buatan tanpa perlu memilih untuk melawan aliran, maka tak perlu ada usaha untuk bertahan hidup. Jika hal itu terjadi, maka tidak akan ada kata kesuksesan dan perjuangan karena tidak ada tantangan yang mana setiap harinya berjalan secara homogen tanpa kurva gelombang yang sangat bervariasi. Aaaaaaaaaitulah kehidupan, semakin banyak melawan arus, semakin berat perjuangan, maka hasilnya juga akan semakin dihargai.
Ada satu hal yang berbeda sejak Nissa kuliah di Palembang dan dia baru menyadarinya hari ini, yaitu sebuah restoran yang cukup besar terletak di depan taman itu yanng menuju jalan.Rangkayo Hitam, dua gedung dari toko stationery tempat Billy membeli tas sebelumnya. Restoran itu sepertinya mewah sekali dan Nissa belum pernah melihat bentuk bagian dalamnya. Restoran itu bernama Restoran Taman Sungai Batanghari. Dua orang pelayan laki-laki dan perempuan menyambut pengunjung berdiri di sudut pintu restoran. Pelayang perempuanmengenakan seragam terusan terbagi dua bagian serong atas dan bawah dengan warna merah putih bermotif batik jambi, sedangkan pelayan laki-laki memakai seragam kemeja dan celana bahan putih dengan ikat pinggang dan kapiah berwarna merah bermotif batik Jambi. Mereka menyambut pengunjung dengan ramahnya.
Menyendiri di tempat keramaian seperti ini adalah hal yang sering dilakukan Nissa ketika sedang memiliki masalah yang bisa membuat emosinya labil dan sering tidak terkontrol mencapai puncak. Mengetahui kelemahannya ini, Nissa mengambil strategi seperti ini untuk sedikit meredamnya. Saat ini pikirannya kembali tertuju kepada peristiwa satu bulan yang lalu, pertemuannya dengan kak Rendi, dan pembicaraan mengenai Children Fun City. Sebuah pertemuan terakhir yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Di dalam kesendiriannya, tiba-tiba saja seorang laki-laki duduk di sampingnya dan terus memperhatikannya. Nissa yang semakin lama diperhatikan mulai merasa risih dan menolehkan kepalanya ke samping kanan untuk melihat apakah dia mengenal laki-laki itu. Melihat laki-laki itu mebuat jantung Nissa berdetak kencang, wajahnya mirip sekali dengan orang yang sangat ia kenal. Tingginya sekitar 175 cm, berkulit putih dan hidungnya bengkok ke arah kiri. Entah oleh karena perasaan apa, setelah melihat wajah laki-laki itu, Nissa refleks meneteskan air matanya. Laki-laki itu bisa melihat mata Nissa yang berkaca-kaca, namun ia tetap berusaha untruk tidak memperhatikan dan memandang lurus ke depan seperti orang kebanyakan yang menikmati pemandangan para pejalan kaki yang berlalu-lalang.

“Maaf, aku harap tidak mengganggumu”, Nissa merasa tidak enak dan segera menghapus air matanya. Laki-laki itu kemudian mengangguk dan membaca sebuah buku yang diambilnya dari dalam tas yang ia bawa. Wajah laki-laki itu sangat tampan dan bisa dengan mudah memikat setiap perempuan yang melihatnya. Dia terus fokus terhadap buku yang ada di hadapannya. Sesekali Nissa melirik ke raha laki-laki itu meyakinkan letak-lerak garis kemiripan wajahnya dengan orang yang sangat ia kenal.
“Apa kau suka padaku?” laki-laki itu menutup bukunya dan melihat ke arah Nissa yang dari tadi sesekali meliriknya.
Nissa terdiam setelah mendengar kata-kata yang dulu pernah didengarnya dari orang yang berbeda. Laki-laki itu semakin mirip dengan gaya berbicara yang sama. Hanya saja tatapan matanya lebih halus.
“Maaf, maksudku, apa aku mengganggumu?” Laki-laki itu memperhalus kata-katanya setelah melihat respon Nissa yang sedikit bingung dan hancur.
“Tidak apa-apa, kau lanjutkan saja membacannya”, Nissa seakan sadar dengan perbuatannya yang sedikit berlebihan itu.

Mereka berdua pun kembali berkonsentrasi dengan kegiatan awal masing-masing. Nissa sedikit menggeser duduknya ke arah kiri sehingga sekarang ada jarak yang cukup jauh di antara mereka. Ia berusaha memandang ke arah lain. Pandangan matanya pun kini tertuju kepada dua pelayan yang berseragam merah putih bermotif batik jambi itu. Kali ini sedikit berbeda, karena mereka tak berpenampilan ramah lagi. Seorang pelayan laki-laki memaki-maki seorang wanita berpakaian lusuh yang sepertinya ingin meminta makan.
“Kau, wanita kumuh, kalau tidak punya uang dilarang masuk ke dalam. Bau busukmu itu akan mengganggu pengunjung yang lain, jadu segera pergi dari tempat ini”, pelayan laki-laki itu memaki sambil menutup hidungnya. “Kalau kau belum pergi juga, temanku ini akan memanggil polisi untuk mengusirmu”, pelayan wanita ikut memaki wanita lusuh itu.
Tak tahan dihina dan didorong, wanita berpakaian lusuh dengan rambut tergurai tak teratur, menjauh dari restoran hingga akhirnya memilih duduk tepat di antara Nissa dan laki-laki yang sudah tak berkonsentrasi lagi dengan bacaannya setelah mendengar makian dari dua pelayan tersebut. Wanita itu benar-benar sangat bau mebuat Nissa dan laki-laki itu sesekali menutup hidungnya. Sepertinya dia tidak mandi dalam jangka waktu panjang. Wanita itu tertunduk lesu dengan perut yang berbunyi menandakan dia sangat lapar. Di pegangnya perutnya yang sangat terlihat tipis seperti tidak pernah diisi makanan saja. Tak beberapa lama sejak konsentrasinya terganggu, laki-laki itu menutup bukunya dan memasukkannya kembali ke dalam tas kemudian menarik wanita lusuh itu kembali menuju Restoran Jambi 100% Indonesia. Anehnya, Dua pelayan itu tidak lagi mengusirnya malah terlihat bingung ketika ia datang kembali dengan laki-laki tadi. Nissa yang  melihat hal itu segera berdiri dan menyusul mereka. Ia juga ingin melihat bagaimana sisi dalam dari restoran itu. Dari luar restoran itu hanya terlihat dua orang pelayang penyambut dan sebuah batu yang bertuliskan

                                                                  Restoran Jambi 100% Indonesia
                                                                            Buka: 08.00 Wib
                                                                              Tutup: 22.00
                                                                  Hari Minggu dan libur nasional
                                                                           Buka: 10.00 Wib
                                                                           Tutup: 02.00 Wib

            Nissa mengalami fantasi yang luar biasa ketika memasuki restoran itu. Para pengunjung benar-benar dibawa menuju suasana kota Jambi, tepatnya suasana Sungai Batanghari. Ruangan itu berbentuk persegi panjang, di setiap sisi panjangnya berderet enam buah rumah kayu kecil yang di bagi dua menjadi tiga rumah oleh sebuah jembatan aurduri di tengahnya. Di setiap rumah kayu kecil itulah tempat pengunjung bisa menyantap makanan yang mereka pesan. Rumah kayu kecil itu dianalogikikan seperti rumah-rumah penduduk yang berjejer di tepi sungai Batanghari. Jembatan aurduri menghubungkan dua sisi panjang tersebut, menganalogikan Jembatan aurduri sebenarnya yang menjembatani dua daerah yang terpisah oleh sungai Batanghari. Seperti sungai-sungai kebanyakan, sungai di restoran ini juga terdapat perahu-perahu nelayan yang sedang menjala ikan, kapal-kapal serta ketek transportasi penduduk setempat, dan balok-balok kayu yang dikirim melalui aliran sungai Batanghari. Semua itu digerakkan oleh mesin-mesin dengan arus sungai buatan. Sangat unik sekali perahu nelayan yang menjala ikan. Seorang nelayan yang menggerakkan dayungnya untuk memajukan perahu dan seorang lagi yang sesekali menggerakkan jalanya. Kapal-kapal dan ketek yang membawa penumpangnya yang semua memakai baju dengan bawahan kain sarung seperti pakaian penduduk setempat. Animasi-animasi berupa mesin itu bergerak terus membentuk putaran mengikuti aliran air pada sisi pinggir sungai dan di bagian tengah sungai berisikan ikan-ikan yang terkadang ikut bermain mengikuti animasi-animasi tersebut. Sungai Batanghari merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera, wajar saja masyarakat Jambi bangga memilikinya. Nissa sangat takjub dengan apa yang dilihatnya, tiga tahun dia tidak mengikuti perkembangan Jambi, dan semua berkembang begitu pesat. Aroma dan pemandangan sungai yang sangat khas membuat pengunjung begitu menikmati santapan tradisonal yang disajikan. Pengunjung restoran ini sangat terbatas karena hanya ada dua belas rumah kayu, inilah alasannya mengapa tempat ini tidak pernah kosong tempatnya. Satu hal lagi yang sangat menarik, di setiap rumah kayu terdapat sebuah tombol berlabelkan Bird turn on. Sangat penasaran dengan maksud tombol itu, Nissa pun memberanikan diri bertanya,
            “Ada yang tahu arti dari tombol yang terdapat di setiap rumah kayu ini?”, Nissa sangat berharap salah satu dari mereka ada yang menjawab, mungkin Laki-laki itu mengetahhuinya.
            “Tombol itu berfungsi ketika pukul 17.30 hingga pukul 18.30, saat hari petang, ketika kita menekan tombol itu maka akan keluar animasi burung-burung berterbangan memgitari sungai ini, seperti burung-burung yang berterbangan di petang hari”, wanita lusuh itu menjawabnya. Jawaban dari wanita lusuh itu membuat kami berdua yang mendengarnya tercengang, bagaimana mungkin seorang seperti dia mengetahui hal ini, Nissa saja sama sekali tidak mengetahuinya.
            “Bagaimana bisa kau mengetahuinya”, Laki-laki itu terlihat penasaran sekali.
            Ahh, aku hanya pernah mendengar ceritanya saja dari pengunjung yang pernah makan di sini”, wanita itu menjadi sangat bingung apa yang harus ia jawab.
            Jawaban yang bisa diterima logika, Nissa terlihat puas dengan jawaban wanita itu dan ingin sekali bisa melihatnya, tetapi hal itu sangat tidak mungkin karena saat ini jam menunjukkan pukul 12.15 Wib. Nissa mulai bingun saat laki-laki itu terus berjalan, padahal jembatan telah disebrangi dan tak satu rumah kayupun yang mereka tuju, laki-laki itu semakin membawa kami ke dalam hingga menaiki sebuah tangga kayu berbentuk spiral. Dari tangga ini, kita bisa melihat para koki memasak pesanan para pengunjung. Pelayan restoran menuju tempat pemasakan ini melalui sebuah pintu yang letaknya tepat di bawah tangga sepiral ini. Ternyata suasana di lantai atas masih mengandung unsur Sungai Batanghari. Hanya bedanya terdapat sebuah ruangan dan sebuah rumah  tertutup. Seperti ruangan pertama yang paling mendekati tangga merupakan tempat bekerja direktu pengelola restoran ini, sedangkan, ruangan yang satu lagi berada di atas air yang dihubungi oleh sebuah jembatan kecil mungkin merupakan ruma untuk tamu khusus pengunjung restoran ini, tetapi kenapa laki-laki itu mengajak kami hingga ke tempat seperti ini. Seorang laki-laki memakai kemeja putih dengan celana bawahan berwarna merah keluar dari ruangan kantor dan menyapa laki-laki itu.
            “Mas Rian, kenapa tidak memberi terlebih dahulu kalau akan kemari”, ujar laki-laki itu yang kemudian langsung menutup hidungnya sambil melirik jijik ke arah wanita lusuh itu.
“Memang ini mendadak pak”, ujar laki-laki yang disapa Rian itu. Laki-laki bos yang bernama Toni itupun mengajak kami menuju rumah khusus itu.
“Pak, biar saya saja yang mendayung perahunya. Anda kembali bekerja saja. Saya ingin yang mengantar makanan adalah dua pelayang yang berada di depan restoran hari ini”, laki-laki itu memberikan perintah kepada pak Toni.
“Baiklah Mas Rian”, laki-laki bernama Toni itupun kembali menuju ke ruang kerjanya.
Nissa dan wanita lusuh itu tercengang ketika memasuki rumah khusus yang ternyata di dalamnya sangat luas sekali. Ruangan itu seperti sungai yang ditengahnya terdapat sebuah perahu rakit zaman dahulu yang dikelilingi pagar pembatas. Jarak antara lantai dan sungai hanyalah dua jengkal tangan. Untuk menuju ke kapal rakit tersebuat disediakan dua buah perahu. Sebuah perahu yang menggunakan dayung dan sebuah perahu lagi menggunakan mesin. Jarak antara sisi dinding dan kapal rakit sekitar seratus meter. Rian pun mengajak kami menaiki perahu dengan menggunakan dayung untuk menuju ke perahu rakit. Selama berada di atas perahu, Nissa melihat sekeliling rumah yang berbentuk trapesium itu. Pada dinding rumah itu terdapat banyak bingkai foto keluarga, sepertinya foto keluarga pemilik retoran ini. Pada sisi kanan terpajang empat bingakai foto laki-laki, sepertinya foto-foto itu saling berpasangan dengan empat bingkai foto wanita yang terpajang pada sisi kiri. Tak ada yang ia kenal dengan jelas, semua terlihat samar-samar. Pada sisi belakang rumah itu terpajang foto-foto masing-masing keuarga saling berkumnpul. Pada bagian tengah dinding sisi belakang terpajang sbuah foto terbesar, foto laki-laki itu dengan seorang kakek tua, mereka memiliki bentuk hidung yang sama, hidung mereka sama-sama bengkok ke kiri. Nissa menyadari bahwa kakek itu adalah laki-laki yang fotonya juga terpajang pada dinding sisi kanan urutan pertama, hanya saja pada foto itu sang kakek terlihat lebih muda, sepertinya foto itu diambil pada tahun 70-an karena masih berwarna hitam-putih. Nissa pun kemudian  melihat foto  pada dinding sisi kiri yang berarti foto wanita yang akan dia lihat adalah pasangan foto laki-laki yang baru dilihatnya itu. Wanita itu sangat cantik dan terlihat lebih muda. Nissa seperti pernah mengenal wanita itu, namun ia tak bisa mengingatnya, mungkin karena dia sangat cantik jadi seperti pernah melihat. Setelah sampai di kapal rakit Rianpun menambatkan perahu pada jangkarnya dan kami pun naik ke atas perahu rakit yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah meja tempat makanan dihidangkan. Tidak ada kursi yang mengelilingi meja karena kita akan makan duduk lesehan. Di meja itu juga terdapat sebuah tombol yang bentuknya sama seperti pada setiap rumah kayu tadi. Perahu rakit itu sangat stabil, ternyata ada sebuah pondasi menuju dasar sungai ini sehingga kita bisa makan dengan tenang tanpa harus takut berada di atas perahu itu.
“Ibu, silakan kau bisa memilih menu makanan apa saja”, Rian menawarkan menu makanan kepada wanita lusuh itu.
“Panggil aku mbak saja, usiaku masih 36 tahun”, wanita lusuh itu sepertinya sedikit tersinggung mendengar Rian memanggilnya dengan sebuatan ibu.
“Apakah aku juga boleh memesan”, Nissa ikut bertanya.
“Apa kau kelaparan juga dan tanpa diajak ikut sendiri ke tempat ini”, Rian itu menyindir Nissa dan mebuatnya sangat terpojok sekali.
“Iya, aku sangat lapar dan ingin sekali makan di restoran ini”, tanpa basa-basi Nissa langsung saja menuju poinnya. Apalagi memang sekarang ia sangat lapar dan kebetulan sekali, ini adalah restoran terunik yang pernah dikujunginya.
“Baiklah, sekarang kalian tulis saja menunya di kertas ini”, Rian menyodorkan kertas itu kepada Nissa.
Seperti biasa, Nissa memesan Sop Tulang setiap kali dia makan, kali ini sop Iga bakar Sapi negeri Jambi. Entah bagaimana bentuk Sapi Jambi, setahu Nissa Sapi di setiap daerah sama saja. Sepertinya restoran ini benar-benar ingin memajukan Jambi. Tepuk seratus untuk arsitek yang merancang bagunan retoran ini, sangat luar biasa memukau. Setelah kami semua menulis menu makanan yang dipesan, Rian memasukkan kertas itu ke dalam lubang kecil di atas meja yang awalnya sama sekali tak terperhatikan fungsinya. Rian pun menekan tombol di sebelahnya, kemudian kertas itu lenyap seketika dan terdengar sebuah suara.
“Baiklah, mas Rian selamat datang di restoran Taman Sungai Batanghari. Pesanan anda telah kami terima dan makanan akan segera kami antar lima belas menit lagi” Suara operator itu berasal dari ruangan tempat pemasakan tadi. Hal ini, semakin membuat Nissa kagum terhadap restoran ini.
“Apakah di setiap rumah kayu memiliki sistem pesan makana yang sama?” Nissa kembali bertanya.
“Ya, begitulah”, wanita lusuh itu menjawab. “maksudku, begitulah yang diceritakan pengunjung restoran kepadaku”, kilahnya saat kami mulai ragu terhadap ketahuannya.
Pantasan saja, sejak masuk ke retoran ini tidak ada pelayan yang mondar-mandir ke rumah kayu, mereka hanya bertugas mengantar pesanan makanan yang telah dipesan pengunjung. Zaman memang telah berubah seiring dengan kemajuan teknologi.
            “Ada hal lain yang menarik di ruangan ini, baiklah akan aku tunjukkan”, Rian menyadari kalau Nissa dan dan wanita lusuh itu sedari yadi tercengang melihat design dari restoran ini. Dipukulnya salah satu sisi perahu rakit itu, kemudian tiba-tiba saja perahu itu sedikit bergerak dan bagian perahu yang dipukul tadi naik ke permukaan berbentuk tiga buah rak yang setiap rak berisi barang-barang tertentu. Pada rak paling bawah berisi buku-buku. Membaca buku di ruangan seperti ini bisa menimbulkan banyak inspirasi baru. Pada rak kedua ternyata merupakan sebuah monitor touchscreen program musik-musik yang bisa didengar di ruangan ini. Rian pun mengetik sebuah musik Rahmanicoff No.1 kemudiann menyentuh layar enter. Alunan-alunan rahmanicoff No.1 pun membuai kami, Semua orang memejamkan mata dan berimajinasi seolah-olah mereka sedang memainkan musik-musik tersebut di tengah sungai dengan semilir angin yang membelai-belai rambut mereka.
            “Waw, ini sangat menarik Rian”, Nissa tak bisa lagi menahan rasa kekagumannya dan langsung saja memeluk wanita lusuh itu. Bnau wanita lusuh itupun tak tecium lagi, dikalahkan oleh kehebatan ruangan ini. “Ya, ini sangat luar biasa”, wanita lusuh itu menambahkan komentar Nissa.
            “Lalu, apa yang berada pada rak pertama”, wanita lusuh itu masih penasaran rak pertama yang belum dibuka Rian. Rak pertama sedikit berbeda karena terdapat sebuah tombol-tombol angka yang sepertinya rak itu sangat rahasia dan hanya orang tertentu yang mengetahui kode yang bisa membukanya. Rian memasukkan beberapa kode angka dan kemudian rak itupun terbuka. Terdapat sebuah remote yang memiliki banyak tombol dan beberapa kaca mata tiga dimensi. Rian pun mengambil remote dan tiga buah kaca mata Ditutupnya kembali rak itu dan dia memencet sebuah tombol yang berada di sisi kanan rak, tak beberapa lama kemudian rak-rak itupun kembali masuk ke dalam rakit. Masih bisa didengar Rahmanicoff  No.1, berarti sistem musik ini masih bekerja walaupun rak-raknya telah dikembalikan ke tempat asal. Stelah menurunkan kembali rak tersebut Rian menekan remote yang baru dikeluarkannya itu. Sebuah animasi berupa sinar melapisi seluruh bagian sisi dinding ruangan itu. Tak terlihat lagi bingkai-bingkai foto yang terpajang tadi. Semua tertutupi oleh sinar putih dengan animasi kendaraan-kendaraan di seputaran dinding ruangan itu. Kemudian Rian kembali menekan tombol pada remote itu, Sekarang terlihat perubahan pada atap ruangan ini, sebuah animasi muncul di atap restoran, berupa  langit biru yang diselubungi awan putih. Rian memberikan Nissa dan wanita lusuh itu dengan kaca mata tiga dimensi tersebut. Setelah semua orang memakai kaca mata tersebut Rian menekan tombol lain pada remote itu dan pondasi bawah perahu Rakit perlahan-lahan bergeser hingga pada akhirnya Rakit itu mengapung di atas air terpisah dari pondasinya. Nissa sedikit takut dan memeluk wanita lusuh itu. Tak hanya itu, masih ada satu aksi lagi yang ditunjukkan Rian, kali ini setelah dia kembali menekan salah satu tombol pada remote itu, animasi-animasi tadi menjadi bergerak dan nyata. Awan-awan pun juga sesekali menyebar membuka selubungan mereka terhadap langit biru, sesekali lagi mereka kembali menutupinya. Kemudian sinar matahari semakin lama semakin terang hingga menuju tepat ditengah-tengah dimana ruangan menjadi sangat terang dan hangat sekali. Perahu rakit juga seolah bergerak dan kami seperti sedang mengarungi sungai Batanghari.
            “Rian, apakah ada sistem yang mengatur suasana? Biasakah kita menuju suasana petang hari dimana ada animasi burung-burung yang muncul. Apakah pada malam hari langit-langut dipenuhi bulan dan bintang?”, Nissa bertanya dengan sangat antusias. Tanpa berlama-lama, Rian kembali menekan salah satu tombol pada remote itu kemudian suasana pun menjadi sedikit gelap, matahari kembali menghilang seperti matahari yang akan tenggelam sinarnya semakin meredup. Tombol yang terdapat di atas meja kayu itupun menyala merah. Nissa dengan yakinnya menekan tombol itu dan dari setiap sudut ruangan keluarlah animasi burung-burung yang berterbangan di sore hari. Sangat indah sekali suasana seperti ini. Burung-burung itu terbang bebas sekali membuat semua orang iri jika melihatnya. Matahari pun akhirnya tenggelam dan langit biru berubah menjadi gelap disinari oleh Bulan dan dipenuhi bintang-bintang. Lampu-lampu jalanan juga menyala terang. Semua kendaraan yang melaju di sepanjang jalan meyalakan lampu jalannya. Burung-burung pun sudah kembali pergi ke asalnya. Tak hanya animasi yang terlihat, dunginnya udara malam pun bisa dirasakan saat ini. Rian kembali menekan remote kemudian ada salah satu bintang membesar dan semakin bersinar terang membentuk wajah laki-laki yang fotonya terpajang pada urutan pertama tadi.
            “Beliau adalah yang tertua di dalam keluarga kami, Billy memberikan penjelasan mengenai laki-laki itu. “Beliau merupakan tokoh inspirator, mendedikasikan kehidupannya untuk masyarakat luas. Beliaulah,.....
            “Maaf mas, lkami sudah berada di depan rumah untuk mengantar makanan”, sebuah suara tiba-tiba saja terdengar di ruangan itu dan memotong penjelasan Rian. Laki-laki itu sangat terkejut sekali dan segera menekan tombol off pada remotenya dan semua animasi pun lenyap,  bingaki foto keluarga kembali bisa dilihat, begitu juga  musik Rahmanicoff No.1 yang sedari tadi mendayu-dayu di ruangan ini berhenti senyap. Rian kembali memukul sisi kayu dan ketiga rak tadipun naik ke permukaan. Di taruhnya remote itu pada rak pertama dan Nissa beserta wanita lusuh itu langsung saja membuka kaca mata tiga dimensi mereka dan memberikannya kepada Rian. Sepertinya Rian hanya ingin menujukkan kehebatan ruangan ini kepada orang-orang tertentu saja, tetapi kenapa dia mau menunjukkannya kepada mereka yang baru dikenalnya hari ini. Nissa tak ingin berpikir masalah ini sekarang, dia sudah tak sabar ingin menyantap sop yang telah dipesannya. Pintu ruangan pun terbuka dan dua pelayan yang tadi memaki wanita lusuh ini berdiri dengan membawakan makanan dan minuman. Mereka kemudian menggunakan perahu mesin yang tersisa menuju ke perhau rakit. Pelayan sesekali melirik ke arah wanita lusuh itu sambil sesekai menutup hidung. Mereka menghidangkan makanan itu dengan sangat rapi dan sopan sekali ketika berhadapan dengan Rian.
            “Ada yang bisa kami lakukan lagi mas”, tanya pelayan laki-laki.
            “Tidak ada, hanya saya inngin besok kalian datang ke kantor saya dan jelaskan sejarah berdirinya restoran ini. Saya tidak suka kalian memaki wanita ini seperti tadi. Untuk saat ini kalian boleh pergi”, perkataan Rian membuat kedua pelayan itu takut dan gemetar kedua tangan mereka.
            “Baik mas, kalau begitu kami permisi keluar”, pelayan wanita menundukkan kepalanya dan mereka segera berbalik dengan menggunakan perahu mesin itu. Pintu ruangan kembali terbuka dan tertutup sesaat mereka sudah berada di luar ruangan. Wanita lusuh itu menatap Rian setelah dari tadi menunduk sejak kedatangan kedua pelayan tadi. Dia menatap Rian begitu dalam, seolah tak percaya oarang yang baru dikenalnya itu telah mengangkat harga dirinya hari ini. Namun, ia sama sekali tidak bersuara karena ia tak tahu harus mengucapkan kata-kata apa. Nissa kelihatannya sudah sangat lapar, tanpa berbasa-basi dia langsung menyantap makanannya. Makanan itu sediakan dalam wadah kayu kecil berbentuk lingkaran. Telah disediakan juga wadah pencuci tngan dan sepasang sendok-garpunya. Sop tulang nya masih sangat panas, ada lima buah iga sapi dan sangat lembut sekali sehingga semakin renyah untuk dimakan. Nissa melihat menu yang dipesan wanita lusuh itu, belut sambal ijo, wanita ini jauh dari pikiranku, dia mengerti makanan yang bergizi tinggi. Baru beberapa suap makan makananannya, Rian pamit pulang.
            “Aku harus pergi sekarang, kalian lanjutkan makannya saja.”, Rian sepertinya terburu-buru sekali setelah melihat jam tangannya seperti mengingat suatu janji yang telah disepakati.
“Tunggu, kau belum mengetahui namaku. Apa tidak mau berkenalan terlebih dulu sebelum pulang?” Nissa berusaha menahan laki-laki itu. Suasana menjadi sedikit aneh. Dia baru menyadari bahwa siang ini mereka makan bersama orang yang tak mereka kenal dan berpisah begitu saja tanpa perkenalan lebih lanjut. Wanita lusuh itu juga mengangguk-anggukkan kepalannya menandakan setuju dengan pendapat Nissa.
            “Aku sudah tahu namamu dan juga dia”, Rian membuat Nissa dan wanita itu tertegun, laki-laki itu telah mengenal mereka merupakan tanda tanya besar. “Ya, Nia, Nia Yashifa Khoirunnisa dan Ny.Farah Reza”, ucapan Rian kali ini semakin membuat mereka bingung. “Nia, aekarang aku boleh ulang?” Seperti disambar petir Nissa mendengar laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan Nia. Tak pernah ada yang memanggilnya Nia kecuali dia yang selalu diingatnya, seorang bernama Rendi Mubarak Alfarisi. Nissa tak dapat berkata lagi. Dia hanya terdiam dalam rasa penasarannya, namun ia tak ingin bertanya lebih jauh, ia takut untuk mengetahui sesuatu yang bisa membuat perasaannya semakin kacau. Pura-pura tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi pada Nissa ataupun wanita lusuh itu, Rian turun dan nak ke atas perahu dayung yang tadi ditambatnya. Sesampainya di dekat pintu masuk, Rian pun mengarahkan perahu mesin agar menuju ke perahu rakit.
            “Assalamu’aiakum”, pintu terbuka dan Rianpun keluar ruangan setelah memastikan perahu mesin itu berhenti tepat di sebelah perahu rakit.  Setelah kepergian, tak ada lagi yang masih berselera untuk makan. Mereka semua masih terpukau dengan sebuah fakta yang baru mereka dengar. Laki-laki yang bernama Rian itu telah mengenal mereka. Wanita lusuh itu menyudahi makanannya dengan membasuh tangan dan turun ke perahu mesin, sementara Nissa masih saja tertegun dengan semua yang lalui.
            “Apakah kau tidak penasaran kenapa laki-laki itu mengenal kita? Kita lihat saja foto-foto yang terpajang kemudian kita akan mengetahui siapa dia”, wanita lusuh itu menyadarkan Nissa. Dia benar dengan melihat foto-foto di ruangan ini, semua hal yang membuatnya bingung mungkin bisa terjawab. Nissa pun menghapus air matanya yang mengalir sejak laki-laki itu memanggilnya Nia dan ia segera menyusul wanita itu menuju perahu mesin. Perahu  itu melaju mengitari foto-foto itu da dimulai dari sisi kanan. Foto pertama adalah foto kakek tua yang tadi dilihatnya, foto kedua adalah foto laki-laki yang usianya jauh lebih muda dan memiliki tekstur wajah yang sama dengan laki-laki tua disebelahnya, foto ketiga adalah seorang laki-laki yang lagi-lagi memiliki bentuk hidung yang sama, yaitu bengkok ke kiri. Sudah empat orang yang ia pernah temui dengan bentuk hidung seperti itu. Foto keempat, laki-laki ini tidak memiliki kemiripan satu sama lain, bisa dinilai yang merupakan keluarga adalah foto pertama, kedua, dan ketiga, prediksi Nissa saat ini mereka adalah ayah dan kedua anak laki-lakinya. Mungkin saja foto keempat ini merupakan menantu dalam keluarga ini. Perahu pun beralih menuju dinding belakang. Foto pertama adalah foto keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, seorang anak laki-laki, dan dua orang anak perempuan. Ayahnya adalah si laki-laki yang fotonya terpajang pada urutan kedua pada sisi kanan. Nissa melihat lebih jelas foto anak laki-laki itu, dia adalah Agung Suryadiningrat, dia adalah sepupunya kak Rendi. Nissa mulai mengerti, alasan mengapa perasaannya berbeda saat melihat laki-laki bernama Rian itu ketika pertama kalinya, melihat kakek tua itu, dan kemudian laki-laki pada foto ketiga, hanya ada satu alasan, mereka memiliki bentuk hidung yang sama dengan kak Rendi, yaitu hidung yang bengkok ke kiri. Dugaan Nissa terjawab setelah melihat foto keluarga selanjutnya. Ayah, ibu, dan tiga orang anak laki-laki. Tepat sekali, yang menjadi ayah adalah laki-laki di bingkai kedua sisi kanan, ketiga anak laki-laki itu berada diantara kedua orang tuanya. Dua anak laki-laki mirip sekali dengan ayahnya, mereka adalah Rian dan kak Rendi, sementara anak laki-laki lainnya lebih mirip kepada ibu mereka. Nissa semakin yakin kalau Rian itu adalah saudara laki-laki kak Rendi. Nissa tiba-tiba teringat dengan foto wanita cantik yang berda di urutan pertama sisi kiri, dia adalah nenek. Foto nenek ketika masih muda. Banyak hal yang tak terduga yang menimpa Nissa hari ini.
            “Apa kau sudah mendapatkan jawabannya?” wanita lusuh itu mengagetkan Nissa dari lamunannya.
            “Iya, begitulah”, Nissa menjawabnya dengan gugup, “Bagaimana denganmu mbak?” Nissa balik bertanya.
            Wanita itu hanya tersenyum menandakan dia juga mendapatkan jawabannya. Nissa tak ingin berlama-lama di ruangan ini dan ingin segera pulang ke rumah. Setelah berkeliling melihat foto-foto itu, mereka keluar ruangan. Memori masa lalu mereka sedang bekerja setelah melihat foto tersebut.
            “Mbak, kalian sudah selesai makan? Tadi mas Rian mengatakan dia ada janji sehingga buru-buru pulang”, laki-laki bernama Toni menyapa mereka setelah mereka keluar dari ruangan.
            “Iya, pak, hmmm, bolehkah saya tahu nama panjang dari Rian? Dan apakah dia memiliki dua orang saudara?” Nissa ingin sekali tahu hal ini setelah foto-foto yang dilihatnya tadi.
            “Nama panjang mas Rian itu adalah Rian Mubarak Alfarisi. Mas Rian itu anak kedua dari tiga bersaudara. Anak pertama Rifki Mubarak Alfarisi, kedua mas Rian, dan yang terakhir Rendi Mubarak Alfarisi Almarhum. Ketiganya ganteng lho mbak, tetapi mas Rifki sudah menikah, Mas Rendi sendiri sudah almarhum, dan mas Rian itu sedikit aneh, gak suka bersosialisasi. Kasihan sekali gadis-gadis muda seperti mbak tidak memiliki harapan lagi untuk hubungan spesial”, Pak toni menjelaskan dengan sangat rinci.
            “Pak, saya ini rekan bisnisnya, bukan yang seperti bapak bayangkan:, Nissa terpaksa berbohong, penjelasan pak toni itu benar-benar menjengkelkannya.
            “Rekan Nisnis, mbak ini seorang arsitek juga ya? Mas Rian itu memang jenius sekali, restoran ini kan hasil rancangannya. Dia itu baru saja lulus dua tahun lalu lulus dari Jerman dan langsung mengaplikasikan ilmunya dengan merancang restoran ini”, Pak Toni sepertinya kagum sekali terhadap Rian.
            “O, gitu ya pak. Ya, saya sudah melihat hasil dari kejeniusannya”, Nissa pun kembali membayangkan animasi-animasi tiga dimensi yang tadi dilihatnya. Rian benar-benar anak yang jenius.
            “Mbak, kalau wanita ini siapa?” Pak Toni bertanya tentang wanita lusuh itu sambil menutup hidungnya. Dia tak percaya kalau mas Rian bisa mengenal wanita seperti itu.
            “Saya, hanya kenalan biasanya”, wanita itu menjawab dengan sedikit takut.
            “O, ya sudah mbak, saya mau kembali ke ruangan. Semoga mbak menikmati pelayanan retoran kami”, Pak toni pamit dan kembali menuju ke ruangannya.
            Tak ada yang menyangka jika ternyata Rian lah arsitek yang merancang restoran ini. Nissa melihat jam tangannya sudah menujukkan pukul 13.20 dan ia belum sholat Zuhur. Dia pun bergerak cepat ke luar restoran. Cuaca di luar terlihat sedikit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Pelayan yang berada di depan restoran juga sudah berganti, bukan dua orang yang memaki wanita lusuh ini.
            “Mbak, mau kemana? Saya sekarang mau sholat dulu setelah itu pulang”, Nissa meyakinkan wanita ini tahu hal yang akan dilakukan setelah ini.
            “Kita berpisah di sini saja”, ujawab wanita itu kemudian meniggalkan Nissa.

to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar