Senin, 08 November 2010

Nisa: "Cinta ini untukmu" ****part three****

Satu Minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir itu dengan Kak Rendi. Pertemuan itu membuat Nisa selalu bermimpi akan pertemuan tak terduga yang akan datang. Pikirannya selalu melambung akan Children Fun City yang akan segera dibangun oleh Kak Rendi. Penasaran sekali bagaimana games You’re the best itu nantinya. Bagaimana respon masyarakat terhadap idenya itu. Akankah impiannya untuk menjadikan suatu pola baru dalam menentukan bakat seorang anak tercapai. Memang ide itu sudah lama muncul di benaknya, hanya saja kesempatan itu belum muncul sehingga angan itu hanya ada di kepala anak yang bernilai lima puluh itu. Nisa hanya ingin semua anak tulus dan dengan sepenuh jiwa bekerja membaktikan diri pada bangsa dan negara. Nisa hanya ingin agar orang itu bekerja selain untuk menghidupi diri tapi juga sebagai Fun sehingga tidak ada kejenuhan di dalamnya dan pada akhirnya semua orang bekerja dengan ikhlas yang terbaik dari yang ia miliki, bukankah dengan begitu negeri kita akan maju dengan sendirinya, bahkan teknologi Jepang dan adikuasa Amerikapun pun bisa kita kalahkan.



Huhhh, kenapa aku selalu berkhayal terlalu jauh seperti ini. Memikirkan kak Rendi saja membuat sebagian pikiranku telah terporsir apalagi ditambah lagi dengan ide gila seperti ini. Bisa-bisa sebagian rambutku bisa rontok sebelum waktunya. Indonesiaku, kapankah engkau berjaya. Sungguh membahagiakan jika suatu saat namamu harum di seluruh penjuru dunia. Negara yang makmur, sejahtera, dan masyarakat yang berilmu namun tetap bersahaja sehingga kedamaian itu tumbuh di masing-masing hati kita.



Merah putih selalu berkibar  di dadaku.

Kutancapkan Rasa cinta tanah air di sudut lobus hatiku yang terbesar.

Setiap ilmu yang kudapat hari ini akan aku gunakan untuk kepentingan Indonesiaku.

Indonesia, tanah airku, tempat terindah dimana aku dilahirkan, dibesarkan hingga tumbuh menjadi insan dunia yang terpuji.

Bhineka tunggal ika yang mengajarkanku akan kesatuan dari beragam perbedaan yang ada.

Burung garuda yang mengajarkan akan keberanian hidup dalam menjalani berbagai tantangan.

Dan Pancasila sebagai falsafah hidup petunjuk arah kaki melangkah, pembereri inspirasi setiap mulut berbicara, pelurus jalan di saat hati berdusta, dan menjadi  pemersatu disaat jiwa mulai berpecah.

Kekeluargaan, persahabatan, Kasih sayang aku peroleh dari Indonesiaku.

Sehingga pada akhirnya aku juga ingin memberikan kekeluargaan, persahabatan, dan kekeluargaan itu kepada Indonesiaku.

Merah putih berkirbarlah kau selalu.

Tetaplah suci dibalik keberanianmu.

Dan aku di sini bersama anak bangsa akan selalu menjadikanmu the number one over the world.





Nisa: “Cinta ini untukm u, Indonesia Tanah airku”.



*****

Besoknya di RSMH.



                Siang ini ada yang berbeda dengan Palembang. Cuaca panas yang sangat membakar kulit terasa begitu berbeda dengan turunnya hujan dari radi terus saja mengguyuri bunga-bunga yang hampir layu, rumput yang hampir mati, dan gedung-gedung yang terlihat kumal ditutupi debu-debu yang telah berlapis. Dinginnya siang itu membuat banyak orang malas untuk beraktivitas dan lebih memilih dalam suatu ruangan dengan berusaha mencari kehangatan. Namun, tidak untuk dua orang perempuan yang sedari tadi duduk menatapi hujan, merasakan aroma tetesan hujan yang membasahi tanah. Setiap tetesan hujan merupakan anugerah yang luar biasa diberikan Tuhan pada mahluknya. Dan hari ini dua perempuan itu sepertinya juga ingin menikmati anugerah Tuhan tersebut.

“Kak Dila, dari tadi aku lihat air mata kakak terus jatuh berlinang seperti hujan yang terus turun membasahi tanah ini. Apa kakak baik saja?” Nisa mencoba memulai pembicaraan. Sudah satu jam dia duduk di tempat yang sama dan melihat kejadian yang mengharukan dalam suasana hujan seperti ini, sungguh keterlaluan jika tak ada kata-kata ataupun beberapa pertanyaan yang begitu mengganjal apalagi Kak Dila merupakan Seniornya di perkuliahan dan bersal dari daerah yang sama.



“Aku hanya ingin menikmati hujan ini. Berusaha tak ingin meratapi takdir yang begitu saja datang menghampiri tanpa bertanya apakah aku akan terluka?tanpa pernah berpikir apakah aku ada kekuatan untuk menerimanya”, Kak Dila kemudian melontarkan beberapa kata dan menatap perempuan yang sebenarnya sudah ia sadari kehadirannya, hanya saja hati itu masih terlalu beku untuk mampu berkomunikasi dengan orang lain.

“Kakak, takdir itu tak punya mata untuk melihat, tak punya telinga untuk mendengar, tak punya pikiran untuk berpikir, dan tak punya hati untuk merasakan. Dia hanya tahu apa yang diperintahkan itulah yang akan dikerjakan. Hanya Tuhan yang dapat memberi perintah kepada takdir kak, hanya Tuhan pula yang tahu setiap alasan dia mengutus takdir itu untuk bekerja”, sungguh luar biasa kata-kata yang Nisa ucapkan membuat Dila sedikit menyesali ratapan sia-sia yang telah ia perbuat.

“Nisa, aku mencintainya, saat itu dia datang kepadaku dan mengakhiri hubungan indah itu. Namun, hingga detik ini dia tidak berhasil mematikan rasa ini, dan Takdir dengan mudahnya telah berhasil membuat semua ini memang harus berakhir. Apakah ada kebahagiaan dalam kehidupan setelah kematian?” Dila seakan ingin berbagi rasa dengan juniornya sejak bangku SD itu. Tak terasa lima belas tahun mereka berada dalam lingkungan yang sama.

“Jelas ada bagia semua insan yang selalu melakukan kebenaran sesuai perintahNya, setiap kelahiran akan berujung pada kematian kak. Bukankah daun muda akan menjadi kering dan kemudian gugur,  begitu pula dengan kita, semua mempunyai waktu masing-masing. Tak tahu kapan masa itu datang kepada kita kak”, Nisa memang selalu bersimpati pada orang-orang yang sedang berada dalam masa kesedihan.

“Terimakasih Nisa, kamu sendiri kenapa bisa ada di sini? Tidak ada kuliah?”

“Sudah selesai kak, sama seperti kakak, aku hanya ingin menikmati hujan di sini”, Nisa tersenyum seolah memberikan tanda bahwa dia benar-benar menikmati hujan hari ini.

“Mungkin sudah ditakdirkan kamu menemani saya hari ini di sini, dasar Nisa aneh banget kamu.”

“Dan kakak juga”, mereka berdua kemudian tersenyum di depan hujan yang terus memberikan kesejukan untuk kota Palembang siang itu.



Tak beberapa lama kemudian Hp Dilla befrbunyi.

“Baiklah aku akan segera ke sana”, Dila mematikan Hp nya. “Nisa, aku harus segera ke IGD, ada pasien emergency luka tusuk, langsung pulang, jangan sendirian lama-lama di sini”, Dila kemudian dengan sigap menuju ruang IGD.

Pasien luka tusuk??? Apa saatnya aku kembali beraksi??Kesempatan emas seperti ini tidak boleh dilewatkan. Aku juga mau melihat pasien itu.

“Pasien luka tusuk daerah abdomen kiri bawah, Kesadaran pasien menurun. Terjadi perdarahan yang begitu banyak dan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari teman yang mengantarkannya insiden terjadi satu jam yang lalu. Periksa vital sign, Segera lakukan resusitasi cairan RL, Rani, kamu hubungi dokter bagian bedah bahwa ada pasien emergensi  luka tusuk abdomen kiri bawah yang perlu dioperasi segera dan Koas, Kalian bersihkan luka tersebut dan menurut pendapat kalian kira-kira ogran apa yang terkena pada pasien ini?” dr.Sari menjelaskan secara rinci peristiwa yang terjadi. Dia merupakan  Senior terlama di stase emergensi rumah sakit ini. Hal semacam ini, sudah berkali-kali ia tangani. Suatu yang istemewa bisa mendapatkan ilmu dari beliau.

“Dokter  tekanan darah 70/60 mmhg, Heart rate  140, takikardia. RR 27, takipneu. Kemungkinan organ yang terkena merupak kolon descendens dengan luka robek yang cukup besar dilihat dari perdarahan yang terjadi”, Dila menjawab pertanyaan dr.Sari.

“Dok, dengan kondisi  perdarahan sebanayk dan selama ini, apakah perlukan dilakukan tranfusi darah sebelumnya apalagi operasi ini diperkirakan akan membuat pasien kehilangan lebih banyak darah”, Rifki memberikan komentar terhadap kondisi pasien ini.

“Tidak perlu, pemberian RL sudah cukup, berikan hingga vital sign membaik dan baru kita bawa ke ruang operasi.  sekaranng sebelum dokter bedah datang, kalian persiapkan kondisi pasien, lakukan sesuai prosedur. dan formulir inform conmsent yang akan diisi, Rifki, kamu periksa golongan darah pasien karena akan diperlukan tambahan darah untuk operasi nanti”, dr.Sari kembali memberikan instruksi.

“Baik dok, para koas langsung mengerjakan tugas mereka masing-masing.

“Dokter, apa teman saya akan baik-baik saja?”, laki-laki yang mengantar pasien tersebut mulai membuka suaranya setelah ia mendengarkan diskusi antara Koas dan dr.Sari tadi. Kecemasan terlihat jelas di wajahnya.

“. Dicurigai luka tusuk ini menyebabkan robeknya usus besar sehinggga menimbulkan perdarahan sebanyak ini. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan tindakan operasi untuk menjahit robekan tersebut dan menyetop perdarahan serta memerika apa ada kerusakan organ lain yang terjadi akibat luka tusuk itu. Kamu tenang saja, dokter bedah di rumah sakit ini akan menyelamatkanmu. Berikan kepercayaan seluruhnya kepada kami. Berdasarkan data yang ada sekitar 98% operasi ini akan berjalan lancar. Sebelumnya kami akan memberikan tranfusi darah terlebih dahulu kepada mas. Dan setelah dokter bedah menemui mas dan memberikan penjelasan, diharapkan mendatanagni formulir inform consent  terlebih dahulu”, dr.Sari memberi keyakinan kepada pasien tersebut.

“Dokter, golongan darah pasien AB (+) dan PMI tidak memiliki nya. Apa yang harus dilakukan berikutnya?”, Rifki memberikan kondisi darurat itu setelah baru saja menghubungi PMI

“Bili, maafkan aku, seandainya saja aku tadi bisa mencegah Ian melakukan ini, dia benar-benar sudah gila. Aku tadi sudah menghubungi ayahmu, tetapi mbak Lina yang mengangkat, sepertinya ayahmu sedang ada rapat. Aku audah menitip pesan kepada mbak lina”, Laki-laki itu begitu menyesali terhadap apa yang terjadi hari ini.

“Siapa yang bergolongan darah AB segera donorkan darahnya, kirim memo ke seluruh stase rumah sakit, segera”, dr.Sari kembali memberikan instruksi. Dan Rifki kemudian langsung menjalankan tugasnya.

Tak beberapa lama  kemudian, dr.Santoso, residen bagian bedah  datang ke ruang emergensi utntuk memastikan kondisi pasien dan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan menjelang operasi dumulai.

“Baiklah Billy Haryanto Putra, operasi ini akan dipimpin oleh dr.Dimas spesialis bedah digestif, beliau sudah lebih dari seratus kali melakukan operasi ini jadi anda tidak perlu khawatir. Diperkirakan waktu operasi akan berlangsung selama dua jam dan 98% kemungkinan akan berjalan lancar, Pisau ini nantinya akan kami cabut terlebih dahulu kemudian kami melakukan pembedahan membuka perut kiri anda, kemungkinan besar kita hanya akan menjahit beberapa luka, namun kita tidak bisa mendiagnosis pasti sebelum melihatnya secara langsung. Wa,aupun kesadaran anda belum turun sepenuhnya, namun pembedahan ini tetap harus dilakukan untuk memastikan.  Sumber Perdarahan harus segera ditutup. Oleh sebab itu, berdasarkan prosedur yang berlaku, Billy harus menandatangani formulir pernyataan bersedia dioperasi ini terlebih dahulu”, dr.Santoso menjelaskan beberapa prosedur yang akan dilaksanakan dan kemudian dengan sekuat tenaga Billy pun menandatangani formulir tersebut.

“Dokter Tekanan darah  pasien 90/60 mmhg, HR 125, semua sudah mulai kembali membaik”, Dila segera memberikan keterangan setelah beberapa menit diberikan infus ringer laktat.

“Oke, pasien bisa segera dibawa ke ruang operasi. Siapkan tiga unit darah, setidaknya satu unit harus ada”, dr.Santoso memberikan instruksi.

Billy pun segera dibawa menuju ruang operasi.

“Dokter, tidak ada respon terhadap memo itu, saya juga sudah mencari-cari di stase anak, penyakit dalam, dan saya juga mengajak beberapa teman untuk mencari AB (+)”, Rifki tampak berusaha sekali melakukan yang terbaik.



“AB (+),  Aku AB (+), aku bisa memberikan darahku padanya, segera lakukan donor darah”, Nisa yang sedari  tadi ternyata melihat kejadian itu langsung memberanikan diri bersuara.

“Nisa? Kamu sejak kapan ada di sini”, Dila tampak kaget sekali atas kehadiran Nisa.

“Sudah dari tadi aku berdiri di sini, hanya kalian saja terlalu sibuk dan tidak memperhatikan aku. Bukankah pasien tadi membutuhkan darah AB (+), aku bisa memberikannya, jadi jangan salahkan kenapa aku ada di sini”, Nisa berusaha membela diri.

“Segera ambil darah anak ini dan kirim ke ruang operasi, setelah itu kamu harap datang menghadap saya”, dr.sari lagi-lagi memberikan instruksi.



Ya Allah, ini pertama kalinya aku melakukan donor darah. Tolong selamatkan pasien itu. Sungguh aku mendapat banyak  pelajaran hari ini darinya.

Tepat di ruang operasi.

“Dokter, tolong selamatkan aku, aku ingin hidup lebih baik lagi”, Billy tampak lemah memelas kepada dokter yang akan mengoperasinya.



“Kami akan berusaha mewujudkan impianmu, sekarang waktunya kamu untuk tidur sejenak dan setelah itu semua akan membaik”, dr.Dimas berusaha meyakinkan Billy.



*****



Keeokan harinya di kampus fakultas kedokteran UNSRI.

Haduh, kenapa siang ini panas kembali, kemarin sudah bagus turun hujan, capek sekali, tiga IT dan satu tutorial telah membuatku kenyang, aduh...capeknya...

“Cinta, kapan jadwal belajar bareng lagi, tiga minggu lagi ujian. Ayola, blok terakhir semester ini harus semangat”, Via bertanya kepada Nisa dengan serius.

“Hari ini aja yuk Nis, jam 3 ampe jam 5, gimana?” Dini menambahkan argumen.

“Waduh, aku gak bisa hari ini, mau jenguk pasien pertama yang tidak sengaja aku tolong. Pertama kalinya aku seperti memberikan kehidupan baru bagi seseorang. Kuberikan darah ini mengalir di tubuhnya”, Nisa mengeluarkan kata-kata puitisnya.

“Emang menolong siapa”, Yoga bertanya dengan curiga.

“Iya, Nisa banyak baget sih rahasia nya”. Icut seolah setuju dengan kecurigaaqn Yoga.

“Justru itu sayang aku mau jenguk, aku mau tahu siapa sosok yang telah aku tolong itu, siapa yang telah menerima darahku untuk pertama kalinya. Gini, kemarin aku donor darah untuk pasien luka tusuk”, Nisa mulai menjelaskan kebenarannya.

“Pasien luka tusuk apa? Kok gak cerita kemarin”, Dini semakin penasaran.

“Ntar malam aku cerita ya kasih, aku pergi dulu ya”, Nisa pun meninggalkan teman-temannya dan segera menuju rumah sakit.



Di Ruangan itu hanya ada seorang dia dan tidak terlihat keluarga yang menjenguk ataupun temannya yang kemarin mengantarnya. Apa dia benar-benar sendiri yang ku pikirkan. Apa yang dia pikirkan. Sebenarnya apa yang terjadi hari itu sehingga dia begitu naas mendapatkan musibah luka tusuk.



“Hei, boleh aku masuk. Aku Nisa, apa kau mengenal namaku?”, Nisa begitu yakin pastilah dokter sudah menyebutkan kalau dia satu-satunya bergolongan darah AB (+) saat itu dan secara tidak langsung merupakan salah satu penyelamat kehidupannya.

“Masuk saja, apa kau sendiri? Tidak membawa buah atau makanan kah? Begitu mahalkah buah?”, Billy mempersilahkan Nisa masuk.

“Buah, ehhh, maaf, aku tidak sempat membelinya”, Nisa merasa sedikit kesal. Sudah di beri donor darah, tidak terima kasih malah minta buah padahal ada begitu banyak makanan dan buah-buahan di kamar itu ditambah tiga buket bunga.

“Tak ada seorangpun yang menjengukku hari ini kecuali dokter dan perawat. Mereka hanya mengantarnya, termasuk ayah”, laki-laki itu terlihat sedih sekali.

“Benarkah? Waww, berarti aku orang pertama dong. Bagaimana dengan temanmu yang kemarin mengantarmu?” Nisa seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Ya, kamu yang pertama, Gery maksudmu? Dia segera pergi pulang setelah tahu operasiku berjalan lancar. Kalau kau tak bawa buah, kau bisa mengambil yang ada di sini. Ini terlalu banyak untuk sendiri.”, Billy memang benar-benar sendiri.

“Apa aku boleh tahu kenapa kau bisa mengalami luka tusuk, aku mendengar nama Ian dari mulut temanmu kemarin. Permainan laki-laki zaman sekarang sungguh kejam. Kalau ayah mu gak datang, masak ibumu juga nggak? Apa kamu gak punya keluarga”? Nisa semakin penasaran dan ingin mengetahui sedikit tentang laki-laki itu.

“Kenapa kamu jadi banyak bicara? Kamu keluar saja, kamu juga tidak berhak untuk bertanya”

“Apa, kamu benar-benar tidak bisa berte...”

“Jangan langsung dihabiskan, sepertinya itu terlalu banyak untukmu”, Billy langsung memotong pembicaraan. Nisa sangat tidak mengerti apa yang dimaksud Billy, tapi dia tidak perduli lagi dan segera meninggalkan ruangan itu.



Dasar manusia tidak tahu terima kasih. Sejarah donor darah pertamaku sedikit ternoda oleh kesombongan laki-laki itu.

 Kamis yang begitu cerah, Gak ada jadwal kuliah dan saat ini emang waktu yang sangat tepat untuk merelaksasikan pikiran.

Cut, kenapa tangan kiriku gatal sekali ya, ada-ada saja ini, kita Cuma mau beli sepatu kan? Aku mau liat novel-novel baru”, Nisa memastikan jadwal hari ini.

“Eh yang benar Nis, menurut mitos, telapak tangan kiri gatal pertanda bakal dapat uang banyak, kalau tangan kanan bakal ngeluarin uang banyak, okeoke Cuma beli sepatu aja kok”, Icut menerangkan mitosnya sambil tertawa.

“Iya, dapat uang dari ATM, tunggu bentar ya cut, ngambil uang dulu”, Nisa kemudian menuju ATM dan untuk mengambil uang.

Tiba-tiba saja tubuh Nisa gemetar dan keringat dingin mengalir di tubuhnya.

“Cut, lihat ini, saldoku cut, Seratus juta cut....Ini  mimpi kali ya, gak mungkin papa ngirim uang sebanyak ini...”, Nisa begitu kaget dengan apa yang baru dilihatnya itu.

“Nisa, ini bukan mimpi...Tu kan benar kamu bakal banyak dapat uang, tapi kok bisa ya nisa??”, Icut  sama kagetnya dengan kejadian tak disangka itu.

Seratus Juta, Nominal yang sangat besar, kenapa aku bisa mendapatkannya, lagipula gak ada yang tahu no rekening tabungan ini selain aku. Ini kan tabunganku sendiri dan bukan Atm milik papa, kenapa bisa. Gak mungkin ada orang yang begitu ceroboh transfer uang sebanyak ini. Ya Allah, cobaan apa ini????

“Nisa, Impianmu, Biola, kapal pesiar, semakin dekat Nisa”, Icut tampak bahagia sekali.

“Gak cut, ini gak halal sebelum kita tahu sumbernya dari mana, apa kita perlu klarifikasi ke Bank?”, Nisa kemudian menemukan ide cemerlang.

“Jelas ini rezeki kamu Nisa, ngapain ke Bank? Tapi benar juga lebih baik gak jadi kaya daripada punya uang haram”, Icut menyetujui ide Nisa.

“Tepat sekali cut, jangan pernah gunakan uang haram.





Nisa....Nisa...Mimpi apa kamu semalam, semoga gak terjadi apa-apa setelah ini, tetapi kenapa perasaan ku gak enak gini, apa mitos itu benar-benar nyata, Icut bergumam dalam hati.

“Ada yang bisa saya bantu mbak”, petugas Bank menyapa dengan khasnya.

“Iya mbak, bisa gak kita mengecek siapa saja yang sudah mentransfer uang ke rekening kita? Ini penting banget mbak”, Nisa bertanya kepada petugas Bank itu.

“O, baiklah mbak, saya akan cek terlebih dahulu dan harap tunggu sebentar”.

Kenapa jantungku berdetak kencang seperti ini. Ya Allah, tenangkanlah aku dan jauhkanlah aku dari segala bahaya yang ada.

“Baiklah mbak, pada tanggal 1 Desember 2010 terjadi transaksi transfer uang sebesar seratus juta rupiah a/n Billy Haryanto. Ada lagi yang bisa saya bantu mbak?”, petugas Bank iu menjelaskan dengan rinci.

“Tidak mbak, terima kasih”, Nisa kemudian berjalan dengan lunglai.

“Nisa, siapa Billy? Apa kamu kenal orang itu”, Icut mulai tampak resah. Tak pernah ia mendengar sekalipun Nisa menyebutkan nama Billy.

“Iya, dia orang yang aku beri donor darah cut, aku sekarang harus bagaimana”, Nisa tampak begitu lelah dan bingung sekali.

“Nisa, aku mengerti apa yang kau rasakan, aku percaya dan selalu berada di sampingmu apapun keputusan yang akan di ambil”, Icut berusaha meyakinkan Nisa yang telah meneteskan air matanya.

“Kenapa kamu jadi banyak bicara? Kamu keluar saja, kamu juga tidak berhak untuk bertanya”

“Apa, kamu benar-benar tidak bisa berte...”

“Jangan langsung dihabiskan, sepertinya itu terlalu banyak untukmu”, Billy langsung memotong pembicaraan. Nisa sangat tidak mengerti apa yang dimaksud Billy, tapi dia tidak perduli lagi dan segera meninggalkan ruangan itu.

Percakapan itu kembali membayangi benaknya.  Kemanusiaan itu, Kesombongan itu, dan seratus juta itu. Tiga hal ini membuat Nisa yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.



“Icut, apa benar akan selalu menemaniku?”, Nisa kemudian bertanya setelah lama bungkam.

“Iya, aku akan selalu menemanimu”, Icut kembali meyakinkan Nisa.



Kemudian dengan penuh keyakinan Nisa memutarkan arah perjalanan kembali ke rumah sakit dan sepertinya Icut juga mulai mengerti dengan apa yang akan mereka segera hadapi.  Uang memang merupakan suatu kekuatan yang tak bisa digantikan pada masa sekarang, tetapi apakan kemanusiaan itu harus dibeli dengan uang. Tak pernah tertulis dalam pancasilaku kaliamt seperti itu. Sila kedua belum berubah ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Mereka pun memasuki ruangan yang sebelumnya pernah dimasuki Nisa dengan kejadian yang sedikit tidak mengenakkan. Laki-laki itu tidak sendiri melainkan ditemani Gery, temannya saat itu.



“Terima kasih untuk uangnya, seratus juta sangat besar untukku dan ini sangat menggodaku. Dengan seratus juta aku bisa mewujudkan beberapa impian yang sudah direncanakan. Oleh sebab itu aku berterima kasih sekali kepadamu hari ini. Akan tetapi, selain ingin mengucapkan terima kasih, aku ingin mengajarkanmu satu hal bahwa kemanusiaanku bukan untuk dijual pada siapapun dan dibeli oleh siapapun. Aku meberikan darahku dan membiarkannya mengalir di tubuhmu karena rasa sayangku antar sesama, karena hatiku tergerak untuk bisa menolong orang yang membutuhkan. Rasa kemanusiaan kasih sayang itu yang telah ditanam mamaku sejak aku dilahirkan, bukan rasa benci dan sombong. Hari ini, aku kembalikan uang seratus jutamu. Lebih baik kau sumbangkan seratus juta itu  pada orang yang lebih membutuhkan sebagai wujud syukur atas berhasilnya operasimu”, lega sekali rasanya setelah aku mengucapkan semua itu.



Suasana hening dan tak ada kata untuk beberapa saat. Terlihat wajah Billy begitu merah menunjukkan betapa marahnya dia saat itu merasa seperti dipermalukan di depan umum.



“Billy, ini sebenarnya ada apa, kok dua perempuan tak dikenal datang dan membuat keributan”, Gery tampak kebingungan.

“Apa?, membuat keributan?? Temanmu itu yang membuat kacau, gak ngucapin terima kasih malah merendahkan rasa kemanusiaan”, Icut seolah berusaha membela Nisa.

“Ada apa siy ini Bil”, Gery tambah bingung dengan apa yang telah terjadi.

“Biasalah, mereka ini sok suci, bingung dengan uang seratus juta mau mereka apakan. Dikasiy uang malah ditolak, munafik banget siy, ambil ger uangnya, kita bisa have fun setelah aku sembuh nanti”, Billy memberikan statement yang begitu menyakitkan Nisa.



Kata-kata itu menancap begitu dalam dan membuat hati itu terasa sakit sekali. Spertinya tidak ada hal selain uang dan foya-foya di mata laki-laki itu. Air mata Nisa kembali jatuh. Rasa sakit itu tak dapat ditahannya lagi dan ia pun segera berlari meninggalkan ruangan.



“Kalian berdua, ge that brok that akai, laknat Allah kah”, Icut melontarkan beberapa kata makian dalam bahasa Aceh dan segera meninggalkan ruangan itu menyusul Nisa.

Smentara dua laki-laki yang ditinggalkan tampak kebingungan mendengar perkataan itu.

“Dasar sinting”, kemudian gery berceloteh.

“Diamlah Gerry, kepalaku pusing sekali, mau tidur saja rasanya”, Billy langsung memejamkan matanya.



Apa aku salah bicara? Apa aku telah salah menilai perempuan itu? Gtapi selama ini semua orang begitu menyukai uangku, sudahlah kepalaku makin pusing memikirkannya. Billy bergumam dalam hati.



Matahari, kau bersinar teang sekali hari ini.

Matahari, artimu begitu besar bagi alam semesta.

Matahari, aku ingin juga sepertimu yang selalu memancarkan cahaya penerang dikala siang dan memantulkan sinar bulan saat malam.

Matahari, aku ingin selau menjadi anak baik dan memberikan bantuan kepadanya.

Matahari, kenapa kemanusiaanku tak dihargai seperti ini.

Matahari, hatiku seakan disayat saat dia bilang aku sok suci.

Matahari, kau harus percaya bahwa aku ikhlas memberikan darahku padanya.

Matahari, aku  tidak boleh jatuh dalam jurang ini.

Aku harus terus tetap bersinar dan bahagia dalam menjalani kehidupan ini meski apapun yang akan terjadi.

Matahari, berilah selalu senyumanmu yang indah itu untukku.

Agar aku bisa kembali tersenyum menyapa hari seperti kau yang selalu tersenyum cerah menyambut hari.



10 Desember 2010

Nia Yashifa Khoirunnisa





“Nisa, apa kamu baik-baik saja? Apa sekarang jarang tidur?”, Icut melontarkan beberapa pertanyaan saat mereka berangkat kuliah bareng dan setelah kejadian mengerikan itu Nisa jarang sekali berbicara apalagi berbicara dengan mereka dan sejak hari itu waktu telah berjalan selama dua minggu.

“Iya, aku baik”.

“Nisa, Kak Rendi gimana? Ada kabar dari dia? Kamu selau semangat jika bertemu dia. Apa kita cari kabar tentang kak Rendi , gimana?” Dini tampak cemas sekali apalagi seminggu lagi mereka akan ujian.

“Gak ada kabar din”, Nisa hanya menjawab seadanya.



Malam harinya.....

Nisa membuka Hpnya

“Tyas, boleh aku menangis sebentar saja lima menit. Kau cukup mendengarkannya”, Nisa menyapa seseorang di seberang sana.

“Silahkan saja kalau itu bisa membuatmu senang, tapi ada apa Nisa?”, Tyas terdengar sedikit bingung dengan sikap Nisa yang aneh.

Setelah itu hanya terdengar tangisan Nisa dan lima menit kemudian benar komunikasi itupun putus.









My diary.



Malam  ini hujan turun dan di langit tiada sinar.

Mengingatkanku  pada masa lalu yang kembali namun kembali terasa pudar.

Mengapa hati ini belum juga bisa tegar?

Masih saja ketika mengingat namanya jantung ini berdebar.



My diary.



Salahkah aku untuk selalu mengharapkannya?

Salahkah aku selau tergingat wajahnya?

Salahkah aku selalu memperhatikan dan merindukannya?



My diary.



Aku telah kehilangan dirinya dan baru kusadari betapa aku merindukannya.

Sekuat apapun aku melupakan, tetapi hati ini tak bisa menahan rasa cintanya.



My diary.



Seorang wanita seperti ku tidaklah pantas untuk mengumbar cintanya.

Seorang wanita sepertiku sudah seharusnya hanya diam menanti masa.

Seorang wanita sepertiku harus selalu menjadi yang terbaik di hadapan keluarga, sahabat, dan cintanya.

Seorang wanita sepertiku cukuplah menulis apa yang ia rasakan dan simpan untuk dirinya saja.

Seorang wanita sepertiku tidak boleh menangis karena seorang wanita sepertiku,

wanita hebat yang selalu kembali bangun ketika dia terjatuh,

karena seorang wanita sepertiku adalah wanita hebat yang siap hidup untuk hidupnya.

Karena seorang wanita sepertiku adalah Wanita hebat yang selalu melihat ke depan dengan kegagahan seorang wanita.

Sehingga wanita hebat sepertiku tidak akan kalah hanya karena cinta gila dihatinya.

My diary.



Apa yang telah aku lakukan?

Aku mengingkari ikrar ku sebagai seorang wanita hebat.

Kenapa aku saat ini menyerah?

Aku telah mendaki begitu tinggi hingga saat ini.

Haruskah aku turun kembali hanya untuk menikmati hati yang membara.

Aku telah pergi jauh tanpa meniggalkan jejak dibelakangku.

Namun jika mau bisa saja aku kembali, haruskah aku melakukan itu?

Aku telah mengorbankan begitu banyak air mata unTUK mencapai titik ini.

Haruskah air mata itu menjadi sia-sia dan mengalir begitu saja membentuk lautan merah yang seharusnya jernih tak bernoda.



My diary.



Aku ingin menjadi wanita hebat .



Aku ingin menjadi wanita hebat.........



17 Desember 2010



Nia Yashifa Khoirunnisa



*******



“Gimana ujian tadi cinta, bisa gak?” Nisa segera menuju ke arah teman-temannya setelah selesai melaksanakan ujian blok terakhirnya di semester ini.

“Kamu udah bisa tersenyum lagi cinta?”, Via membalas pernyataan Nisa tadi.

“Iya la, apalagi setelah ini kita akan liburan dan tidak bertemu selama satu bulan, pasti aku akan sangat merindukan kalian”, Nisa seperti menyesali tidak memanfaatkan minggu-minggu terakhir mereka bisa bersama.

“Payah kamu, udah mau pulang baru sembuh. Kapan kamu pulang?”, Bulan menyindir Nisa secara halus.

“Ntar malam, biasalah naek travel. Jangan marah dong sayang, nyok kita mainaja sekarang sebelum pulang”, Nisa kembali merayu Teman-temannya.

Sepertinya hari ini begitu cerah dan Palembang bersuhu 28C mungkin. Kebersamaan ini akan kita rasakan kembali satu bulan kemudian. Tak tahu apa yang akan terjadi di liburan kita. Satu hal, aku ingin sekali melihat Kak Rendi dan melihat Children Fun City rancangan kami berdua



Dewa angin, apakah kau benar-benar ada??

            Inilah hari terakhir aku di palembang di tahun 2010 karena aku akan kembali ke kota ini tahun depan. Semoga di tahun depan hidupku lebih baik lagi dari saat ini. Kulupakan semua kenangan buruk yang terjadi akhir-akhir ini. Aku nikamati indahnya kota Palembang malam ini. Enam jam lagi aku akan tiba di rumah. Aku kangen sekali dengan kamar dan boneka-bonekaku. Rindu pada mama, papa, dan tetangga sebelah sepupuku, Ayu. Satu nama lagi yang sangat aku frindukan, yaitu Kak Rendi.Sambil menunggu waktu yang terus berjalan, aku membuka facebook dan melihat perkembangan informasi antarteman.



Hani Anindita Kangen Jambi, huhuhu...

            Coment

Nissa Yashifa: Han, Kamu kapan pulang sayang?

Hani Anindita: Sebulan lagi Nis, Kamu dimana sekarang

Nisa yashifa: Niy lagi di travel mau pulang..Gila, sebualan lagi aku udah kuliah lagi jeng..

Hani Anindita: Iya jeng, wahh, gak klop niy jadwalnya neng..

Nisa Yashifa: hahahaha, iya jeng....

Semoga liburan kali ini menyenangkan Tuhan...



Album Kenangan

Photo

Dilla Putri



Kak Dila, penasaran sekali dan aku pun membuka foto-foto itu.  Keringat dingin kembali membasahi tubuhku. Mata ini rasanya mulai berkunang-kunang, jantung ini kembali berdetak kencang. Aku buka satu-persatu foto itu. Aku berusaha meyakinkan diri dengan apa yang aku lihat dan pikiranku kembali melambung dengan kejadian saat menikmati hujan itu bersama kak Dila.



“Nisa, aku mencintainya, saat itu dia datang kepadaku dan mengakhiri hubungan indah itu. Namun, hingga detik ini dia tidak berhasil mematikan rasa ini, dan Takdir dengan mudahnya telah berhasil membuat semua ini memang harus berakhir. Apakah ada kebahagiaan dalam kehidupan setelah kematian?”



Ya Allah, ini foto kak Dila bersama Kak Dila semua, Kehidupan setelah kematiann???Ya Allah, Kak Rendi...Nggak mungkin, aku gak akan percaya sebelum melihatnya langsung.

Air mata Nisa kembali jatuh dan seera ia pejamkan mata seolah tak ingin memikirkan  hal ini.

Sepanjang perjalanan Nisa terus memikirkan hal yang paling ia takuti terjadi. Terusa saja dalam hatinya berdoa agar selalu diberikan yang terbaik. Jika hal itu memang terjadi berharap kekuatan menghampirinya. Dan tibalah saat itu, saat travel yang ia tumpangi melewati sebuah rumah yang sangat dikenalnya, yang masih tersimpan kuat di memorinya.

Ya Allah, berbagai karangan bunga itu, Ya Allah, tolong kuatkan aku, Innalillahiwainnailaihirojiun. Nisa dengan skuat tenaga mengucapkan kalimat itu. Segera dihapusnya air mata itu. Tak ingin aku tunjukkan kesedihan ini kepada mama dan papa.

Akhirnya tepat pukul dua pagi aku tiba di rumah kediamanku. Tempat dimana didalamnya ada dua orang yang paling aku cintai di dunia ini. Tempat dimana berbagai kebahagiaan ada di dalamnya. Aku selalu menyambut tempat ini dengan suka cita, tetapi tidak untuk saat ini, ada sesuatu yang menyesakkan hati yang berusaha aku tahan sebisa mungkin.



“Kutewa, kamu pulang. Kutew anak mama pulang, capek nak?? Sudah makan belum?? Mama buat sop tulang, sudah dihangatkan untuk kamu”, mama dengan bahagia menyambut kedatanganku.

“Iya ma, capekk sekali, rasanya mau dipijit saja sama mama malam ini, wahhh, sop tulang, mau mau mau ma... ayo kita makan dulu”, Aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap bisa terlihat bahagia.

“Papa, lihat komedo Nisa sudah agak berkurang kan??”, aku berusaha tetap menjadi Nisa yang biasa.

“Iya kutew, pake apa kutew bisa hilang”, papa mulai genit menggodaku.

“Ya, pake krim dong pa, udah makan belum pa?”

“Gak usah kamu ajak papamu makan lagi. Dari tadi dia makan terus ntar malah sakit”, mama seperti biasa senang sekali menyindir papa.

“O, jadi kalau anak pulang ngajak berantem ya??” papa balas menyindir.

Hahaha, ada-ada saja orang tuaku ini, aku bahagia sekali karena mereka selalu memberikan kebahagiaan seperti ini kepadaku.



Malam itu, sebelum tidur mama memijitku, begitu nyaman dan hangat sekali. Rasanya begitu sia-sia jika harus aku teteskan air mata ini di hadapannya. Dengan sentuhan halus mama, akhirnya aku bisa tertidur dan melupakan apa yang baru ketahui.



*****



Kesokan Paginya aku ingin memastikan kebenaran yang terjadi.  Aku segera menuju ke rumah penuh memori itu. Aku telah siap untuk menghadapi berbagai kenyataan yang akan aku hadapi.



“Assalamu’alaikum”, aku mengetuk pintu rumah itu.

“Wa’alaikum salam”, seorang wanita tua membuka pintu rumah itu. “Nisa”, nenek langsung memelukku. Tak kusangka nenek masih mengingatku dengan jelas.

“Nenek”, terlihat air mata membasahi wajah nenek.

“Nisa,... Mamann...Maman ku sudah pergi.  Dia meninggalkan aku si tua ini”, nenek tampak sedih sekali dan begitu kesepian.

“Nenek, sebenarnya apa yang terjadi? Kak Rendi kenapa? Apa nenek sendirian lagi di rumah?” Nisa kembali bertanya kepada nenek.

“Nisa, Maman cucu yang paling setia menemaniku, semua sibuk bekerja kecuali maman, Cuma maman temanku dan diA meninggalkanku. Maman meninggalkanku tanpa mengatakan apapun. Pagi itu saat aku mau minta dibelikan buah dia sudah tak bisa bangun dan terbaring begitu saja. Ini semua salah nenek, malamnya nenek memarahi Maman karena tak pernah menyampaikan pesan nenek rindu sekali padamu”, nenek menjelsakan yang terjadi.

“Nenekk....Nisa juga rindu sekali sama nenek..Nenek, seandainya Nisa bisa bertemu Kak Rendi...”, Nisa turut hanyut dalam kesedihan nenek.

Tak ada kata-kata selama sekitar setengah jam. Berdua menangis karena telah ditinggalkan orang terkasih yang sangat mereka cintai.

“Nisa, Maman punya sebuah buku yang selau ia jaga, aku rasa buku pribadinya. Apa kau percaya pada pesan terakhir orang yang meninggal”?

“Dimana bukunya nek, apa sudah pernah nenek baca”? Nisa tertarik sekali dengan cerita nenek.

“Belum Nisa, nenek takut mengetahuinya, kamu saja yang membaca, tunggu nenek ambil dulu”, nenek kemudian meninggalkan Nisa dan menuju sebuah kamar. Tak beberapa lama kemudian nenek keluar dan memberikan buku kepada Nissa.



Hari ini nenek sakit, aku kira hal buruk akan terjadi padanya. Ternyata dia hanya konstipasi biasa. Tuhan, hampir saja aku membuat mama sedih...Nia, wanita bodoh itu yang menyelamatkan nenek. Terima kasih sekali kepadanya. Besok aku harus menyelesaikan proposal proyek ini dan segera menyampaikan kepada Pemilik saham. Semoga Dila segera melupakanku

18 September 2010

Rendi Mubarok Alfarisi



Hari ini Pak Haryanto tidak menerima proposalku, beliau memintaku untuk mengulangnya dan kembali membuat presentasi satu minggu lagi. Aku kembali bertemu lima puluh, dia bercerita tentang dewa angin dan entah kenapa aku mempercayainya. Aku menceritakan akan impianku dan dia begitu mengapresiasinya. Sebuah games You’re the best dan Children Fun City harus terwujud.

To: Dewa Angin

Semoga impianku tercapai

Hahaha, kenapa aku mempercayai anak bodoh itu J

23 November 2010

Rendi Mubarok Alfarisi



Dua hari lagi aku akan bertemu Pak Haryanto. Semoga Children Fun City bisa diwujudkan. Nia, nenek selau menanyakanmu. Bagaimana cara menghubungimu. Aku tak mungkin ke Palembang saat seperti ini. Spertinya nenek benar-benar marah. Apa yang harus aku lakukan. Apakah kau selalu mendoakan berdirinya Children Fun City. Semoga kau baik-baik saja dan bisa melihat games hasil kreativitasmu. Malam ini aku mau istirahat memejamkan mata dan berharap impianku dapat terwujud. Dewa Angin, tepatilah janjimu. J

26 November 2010



Nissa kemudian menutup buku itu. Air mata terus jatuh membasahi pipinya. Dilihatnya wajah nenek. Kak Rendi begitu menyayangi nenek dan nenek ternyata kalian merindukan aku seperti aku selalu merindukan kalian. Aku peluk erat-erat nenek.

“Nenek, Children Fun City harus terwujud. Nenek, apakah Tidak tahu mengenai berita akan Happy Family store”, Nisa memberanikan diri untuk bertanya.

“Nisa, Mengapa kau tanyakan itu. Dua hari yang lalu kami sudah menyerahkannya kepada Haryanto. Tak ada anggota keluarga yang meneruskannya. Semua berpikiran usaha itu sia-sia saja dan sudah tidak bisa dipertahankan. Dari pada terbengkalai dijual saja saham kami kepada Haryanto. Tak ada lagi kaitan kami dengan perusahaan itu”, nenek memberikan informasi mengenai apa yang ia ketahui.

“nenek, Kak Rendi berusaha mempertahankan perusahaan itu hingga akhir hayatnya, apa nenek benar-benar ingin melepaskannya?Nenek, Kak Rendi menggantungkan impiannya di sana.

“Benarkah Nisa, Benarkah Maman menginginkan bisnis itu”, nenek terlihat kecewa sekali.

“Benar nek”, Nisa pun kembali memeluk nenek berusaha memberikan kekuatan kepadanya.



continued part 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar